Jika kemarin kita telah membaca kisah Syaikh Utsaimin yang menolak diistimewakan oleh polisi lalu lintas, hari ini kita belajar dari Ima...
Jika kemarin kita telah membaca kisah Syaikh Utsaimin yang menolak diistimewakan oleh polisi lalu lintas, hari ini kita belajar dari Imam Hasan Al Hudhaibi yang menolak diistimewakan oleh Direktur Penjara Militer.
Imam Hasan Al Hudhaibi, mursyid ‘am kedua Ikhwanul Muslimin, hari itu berada di penjara bersama ratusan kader Ikhwan. Salah satunya adalah Ustadz Nabih Abdu Rabbih, yang kemudian menceritakan kisah ini dalam bukunya.
Ustadz Nabih mendengar Direktur Penjara Militer sedang menyiapkan alat baru. Dan ternyata benar, ia mendatangkan penghangat badan untuk kamar penjara Imam Al Hudhaibi. Saat itu kondisinya memang sangat dingin. Hawa dingin membuat banyak penghuni penjara, termasuk Ustadz Nabih, “menderita”.
“Kami menyiapkan alat ini untuk Imam Al Hudhaibi, sebagai bentuk hormat kami atas kedudukan dan usia Imam,” demikian kira-kira penjelasan Direktur Penjara Militer.
“Tidak,” kata Hasan Al Hudhaibi menolak fasilitas itu, “Sungguh aku merasa sangat sangat dan bugar. Jika engkau sanggup memberikan layanan istimewa ini kepada seluruh ikhwan di penjara ini, maka aku sangat senang jika menjadi orang terakhir yang menerimanya. Jika tidak begitu, gunakan saja alat ini untuk dirimu sendiri dan terima kasih atas usahamu ini.”
Sang Direktur tahu ketinggian hati dan itsar Imam Al Hudhaibi. Maka ketika ruang tahanan kosong sewaktu istirahat, sang Direktur memanfaatkan kesempatan itu untuk memasukkan alat penghangat badan itu dan menghidupkannya.
Ketika masuk ke ruang tahanannya, Al Hudhaibi terkejut. Sebuah alat penghangat tubuh telah ada di sudut kamarnya. Ia kemudian memanggil sipir untuk membuka pintu. Lalu Al Hudhaibi menyingkirkan alat tersebut dari ruang tahanannya.
Melihat pemberiannya ditolak, Direktur Penjara Militer pun mendatangi Al Hudhaibi. “Aku telah mengutamakan dirimu atas diriku sendiri, karena aku memuliakanmu,” kata Direktur dengan nada mengecam.
Namun Imam Al Hudhaibi justru mendoakan Direktur yang merupakan bagian dari penguasa yang telah memenjarakan ribuan kader Ikhwan di sejumlah penjara tersebut. Al Hudhaibi kemudian menegaskan sekali lagi bahwa ia tidak menerima layanan istimewa, hadiah dan kehormatan pribadi kecuali setelah seluruh ikhwan mendapatkan itu semua. Mendengar jawaban tegas ini, Sang Direktur tidak berani lagi memaksakan alat penghangat badan tersebut.
Sikap seperti inilah yang menambah kekuatan kader-kader Ikhwan menghadapi dinginnya penjara dan kesusahan hidup di sana. Sikap seperti ini pula yang menguatkan ketabahan mereka, hingga membuat kader seperti Ustadz Nabih berlinang air mata.
“Betapa indahnya Islam,” kata Ustadz Musyaffa’ Ahmad Rahim saat mengomentari kisah ini, “saat tercerminkan dalam kepribadian. Betapa memikatnya ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, saat terefleksikan dalam sikap, perilaku, tutur kata dan perbuatan.” [IK/bersamadakwah]
*Disarikan dari buku Memoar Imam Hasan Al Hudhaibi.
Imam Hasan Al Hudhaibi, mursyid ‘am kedua Ikhwanul Muslimin, hari itu berada di penjara bersama ratusan kader Ikhwan. Salah satunya adalah Ustadz Nabih Abdu Rabbih, yang kemudian menceritakan kisah ini dalam bukunya.
Ustadz Nabih mendengar Direktur Penjara Militer sedang menyiapkan alat baru. Dan ternyata benar, ia mendatangkan penghangat badan untuk kamar penjara Imam Al Hudhaibi. Saat itu kondisinya memang sangat dingin. Hawa dingin membuat banyak penghuni penjara, termasuk Ustadz Nabih, “menderita”.
“Kami menyiapkan alat ini untuk Imam Al Hudhaibi, sebagai bentuk hormat kami atas kedudukan dan usia Imam,” demikian kira-kira penjelasan Direktur Penjara Militer.
“Tidak,” kata Hasan Al Hudhaibi menolak fasilitas itu, “Sungguh aku merasa sangat sangat dan bugar. Jika engkau sanggup memberikan layanan istimewa ini kepada seluruh ikhwan di penjara ini, maka aku sangat senang jika menjadi orang terakhir yang menerimanya. Jika tidak begitu, gunakan saja alat ini untuk dirimu sendiri dan terima kasih atas usahamu ini.”
Sang Direktur tahu ketinggian hati dan itsar Imam Al Hudhaibi. Maka ketika ruang tahanan kosong sewaktu istirahat, sang Direktur memanfaatkan kesempatan itu untuk memasukkan alat penghangat badan itu dan menghidupkannya.
Ketika masuk ke ruang tahanannya, Al Hudhaibi terkejut. Sebuah alat penghangat tubuh telah ada di sudut kamarnya. Ia kemudian memanggil sipir untuk membuka pintu. Lalu Al Hudhaibi menyingkirkan alat tersebut dari ruang tahanannya.
Melihat pemberiannya ditolak, Direktur Penjara Militer pun mendatangi Al Hudhaibi. “Aku telah mengutamakan dirimu atas diriku sendiri, karena aku memuliakanmu,” kata Direktur dengan nada mengecam.
Namun Imam Al Hudhaibi justru mendoakan Direktur yang merupakan bagian dari penguasa yang telah memenjarakan ribuan kader Ikhwan di sejumlah penjara tersebut. Al Hudhaibi kemudian menegaskan sekali lagi bahwa ia tidak menerima layanan istimewa, hadiah dan kehormatan pribadi kecuali setelah seluruh ikhwan mendapatkan itu semua. Mendengar jawaban tegas ini, Sang Direktur tidak berani lagi memaksakan alat penghangat badan tersebut.
Sikap seperti inilah yang menambah kekuatan kader-kader Ikhwan menghadapi dinginnya penjara dan kesusahan hidup di sana. Sikap seperti ini pula yang menguatkan ketabahan mereka, hingga membuat kader seperti Ustadz Nabih berlinang air mata.
“Betapa indahnya Islam,” kata Ustadz Musyaffa’ Ahmad Rahim saat mengomentari kisah ini, “saat tercerminkan dalam kepribadian. Betapa memikatnya ajaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, saat terefleksikan dalam sikap, perilaku, tutur kata dan perbuatan.” [IK/bersamadakwah]
*Disarikan dari buku Memoar Imam Hasan Al Hudhaibi.