Jika ada satu kata yang cukup untuk mewakili kriteria seorang calon suami idaman, maka kata itu adalah keberanian. Apalagi, di negeri dan za...
Jika ada satu kata yang cukup untuk mewakili kriteria seorang calon suami idaman, maka kata itu adalah keberanian. Apalagi, di negeri dan zaman kita sekarang ini, budaya ikhwan melamar akhwat menjadi sebuah keharusan. Dan, ada tabu jika ada akhwat yang datang melamar ikhwan. Padahal, hal kedua ini bukanlah sebuah aib, jika dilakukan sesuai dengan aturan Allah melalui sunnah Rasulullah.
Sehingga, keberanian seorang ikhwan untuk bersegera melaksanakan sunnah Rasulullah ini, patut kita apresiasi dan menjadi satu kunci percepatan sebuah pernikahan yang didambakan. Tentu, kebaranian yang didasari oleh dua hal; niat karena Allah dan semangat untuk menjaga diri dari dosa.
Belum lama ini, berkisah seorang ikhwan pemberani. Dalam kisah singkatnya, dia ‘hanya’ membutuhkan waktu kurang lebih 3 bulan, mulai bertukar proposal, ta’aruf dan akhirnya menikah.
Awalnya, saya mengatakan kepada ikhwan ini, “Akh, antum ajukan proposal saja untuk akhwat itu.” Kebetulan, kami berteman sejak lama. Selanjutnya, dia melaksanakan usul tersebut. Sayangnya, dalam hitungan bulan, hasilnya nihil, dia kemudian melaporkan, “Akh, gak ada balasan. Kata ustadz, anggap saja bahwa ana ditolak.” Tak berselang lama, saya langsung menyarankan, “Kalau begitu, ambil saja opsi B. Sesuai yang ana ceritakan kemarin.”
Beberapa hari setelah perbincangan itu, dia menelpon dan menyanyakan banyak hal. Mulai dari niat, proses hingga teknis menjelang pernikahan, dan sejenisnya. Akhirnya, saya langsung menyimpulkan dengan berkirim pesan singkat, “Jadi, kapan akad dan walimahnya?” Dijawab dengan singkat, “Insya Allah akhir Mei tahun ini.” Pemberani. Kataku dalam hati.
Hingga akhirnya, beberapa hari yang lalu, dia menceritakan detailnya.
Selepas antum menyarankan untuk mengambil opsi B, ana langsung mendatangi Ustadz Amin. Dari ustadz Amin, ana langsung disuruh mendatangi ustadz Jamal. Sesampainya di rumah ustadz Jamal, sejenak bercerita, beliau langsung menunjukkan sebuah proposal. Kata beliau, “Udah, nikah saja sama akhwat ini. Ini proposalnya. Antum jangan banyak mikir. Pelajari saja proposalnya. Dan, buat proposal serupa untuk ana berikan ke akhwatnya.”
Ana pulang, antara bingung dan terharu. Pasalnya, akhwat yang diajukan dari ustadz Jamal ini fresh graduate dari salah satu Universitas Negeri di Ibu Kota dari Fakultas MIPA. Ia juga mantan aktivis BEM di kampusnya.
Dengan bismillah, ana membuat proposal, seperti instruksi ustadz Jamal.
Ternyata, ustadzah si akhwat adalah teman ngajar ana di sebuah sekolah yang terletak di Jabodetabek. Masih satu kota, hanya beda sekolah. Setelah proposal ana berikan ke ustadz, saya diminta bertanya kepada ustadzah tersebut. Kata ustadzahnya, “Kata Fulanah, terserah antum saja akh.”
Beliau menjelaskan, bahwa makna dari kata ‘terserah’ itu, ”Silahkan datang ke rumah untuk melanjutkan proses berikutnya.” Akhirnya, ana datang ke rumah orang tuanya, untuk kali pertama. Entahlah, ada rasa yang tak biasa. Tapi lantaran niat, hati ini dipenuhi keyakinan yang penuh. Alhamdulillah.
Pembicaraan selesai. Akhirnya, ana dipertemukan dengan si akhwat beberapa hari setelah kunjungan ana. Dalam pertemuan itu, disertai juga dengan ustadz ana dan ustadzah si akhwat. Dalam pertemuan ta’aruf itu, ana hanya menanyakan tiga hal.
Satu, bagaimana pandangan si akhwat tentang konsep keluarga. Dua, bagaimana pandangannya tentang konsep rejeki. Ketiga, apakah dia mau jika diajak hijrah ke kampung halaman untuk membuka ladang dakwah baru.
Ana tak mengira, ternyata jawabannya, sama dengan apa yang ada di benak ana. Hingga akhirnya, ditemuilah kata sepakat. Selang beberapa hari, ana memberi kabar kepada bapak. Bahwa ana meminta beliau menemani untuk melamar akhwat tersebut.
Alhamdulillah, lamaran ana diterima. Ana hanya datang berdua dengan bapak. Dalam proses khitbah itu, kami hanya membawa bingkisan ala kadarnya. Tanpa cincin, tanpa upacara seperti kebanyakan calon pasangan lainnya. Dalam kesempatan itu, kami juga membahas tentang kapan walimah dan prosesi teknis lainnya. Hingga akhirnya, disepakati waktu akhir bulan Mei bertempat di masjid dekat rumah si akhwat.
Tentang mahar, akhwat hanya menjawab ‘terserah’. Hingga akhirnya, dia mengatakan, malu-malu, “Kalau surah al-Qur’an, ana suka at-Tahrim. Insya Allah itu saja.” Dia menambahkan setelah ana kejar dengan pertanyaan, “Ada lagi?” Jawabnya, “Emas lima gram, tidak memberatkan antum, kan? Insya Allah itu akan bermanfaat untuk kehidupan kita selepas menikah.”
Menyeksamai penuturan sahabat ini, saya terkagum-kagum dan tak berhenti berdzikir, Subhanallahi wal Hamdulillahi wa Laa Ilaaha Illallhu Wallahu Akbar. Gumam saya ketika itu, “Ternyata, masih banyak mutiara di tengah tumpukan lumpur.”
Untuk kedua calon mempelai, kami doakan dengan penuh khusyu’, “Barokallahu lakumaa wa baroka ‘alaikumaa wa jama’a bainakumma fii khoir.” []
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com