Hidup adalah rangkaian ujian. Siapa lolos, maka dia berhasil. Siapa gagal, maka dia menderita. Dalam menjalani ujian kehidupan ini, salah...
Hidup adalah rangkaian ujian. Siapa lolos, maka dia berhasil. Siapa gagal, maka dia menderita. Dalam menjalani ujian kehidupan ini, salah satu cara yang bisa kita tempuh adalah menjadi pribadi yang bijak. Bijak mempunyai banyak makna kebaikan. Satu diantaranya; mengambil pelajaran dari pengalaman yang sudah dilalui oleh orang lain. Bukankah sudah kita ketahui bersama, bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik?
Pengalaman kebaikan tidak selalu berasal dari orang yang hanya nampak baik dari luarnya. Karena memang, fisik dan tampilan wajah bukanlah jaminan. Justru, dari orang-orang yang terlanjur dipersepsi buruk oleh masyarakat itu pun, kita bisa mendapati pelajaran kebijakan tentang hidup yang kian ganas ini.
Adalah Abang. Seorang lelaki kelahiran tahun 1978. Asli Lampung. Kehidupan yang dia jalani terbilang rumit. Mulai dari biasa, sukses, biasa lagi hingga kemudian terjatuh lantaran tak bijak dalam menyikapi kehidupan.
Lelaki yang sudah beranak dua ini, menuturkan, “Hidup itu harus mempunyai cita-cita, Mas. Cita-cita itu, harus dimiliki sejak kecil.” Dengan semangat, dia menuturkan, di tengah malam, di keramaian salah satu kota di Jabodetabek, “Mas tahu kenapa saya memilih menjadi sopir angkot?” yang ditanya menggeleng lembut, sambil melempar senyum dan tanya melalui sorot matanya, “Karena saya bercita-cita menjadi pembalap, maka saya memilih menjadi sopir angkot” ujarnya, diiringi tawa. Serius.
“Jangan salah, Mas. Meski sopir angkot, saya kenal juga dengan Kapolda Metro Jaya.” Yang diajak cerita, agak bingung. Sayangnya, sohibul hikayat segera menepis keraguan penumpangnya itu sembari menunjukkan fotonya dengan Kapolda yang dijadikan sebagai wall paper ponselnya, “Ini fotonya, Mas.” Seraya menyodorkan.
“Nah, mas ini kan perantauan, sama dengan saya. Saya ada beberapa cerita, semoga bisa menjadikan kita lebih baik, dari hari ini.” Lanjutnya, dengan menjaga tempo kecepatan kendaraannya sembari sesekali minggir ke arah kiri –mencari penumpang. “Yang paling utama, harus rajin menabung. Jangan suka berfoya-foya. Karena, sakit itu datangnya tiba-tiba. Jangan sampai, ketika tiba-tiba kita sakit, tapi tak memiliki uang untuk berobat. Atau, ada kepentingan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan, dan membutuhkan banyak uang.” Nasehatnya bijak.
Berselang jenak, dia melanjutkan, “Saya pernah mengalami kejadian memilukan ini, Mas. Ketika bapak saya wafat, saya terancam tidak bisa pulang karena tak memiliki uang sepeserpun.” Matanya menerawang, berkaca-kaca. “Untungnya, ada keluarga yang meminjami saya ongkos.” Ternyata, dalam banyak kasus, wajah yang nampak sangar, bisa meneteskan air mata juga, ketika perasaannya teraduk-aduk.
“Dari pengalaman itu, saya mulai bekerja dengan sungguh-sungguh. Hingga akhirnya, saya menikah dan sekarang sudah mempunyai dua orang anak. Selain rajin menabung, hindari sikap sombong. Sikap inilah yang akan menjatuhkan kita. Oya, Mas sudah nikah?” serta merta, dia melempar tanya. Yang ditanya, mengangguk, pelan, “Alhamdulillah, sudah. Baru lima bulan.”
“Berarti pengantin baru ya, Mas?” ujarnya menggoda. “Mas harus mewaspadai satu godaaan. Bagi saya, ini godaan yang paling berbahaya. Kalau sekedar arak, harta, atau yang lain, saya masih bisa menjauhi. Tapi yang satu ini, sangat susah!” dia semakin bersemangat. Yang diajak bercerita mulai menunjukkan kebingungan, bertanya-tanya dalam hati.
“Godaan yang satu ini, bukan hanya dialami oleh mereka yang masih lajang. Tapi juga menimpa mereka yang sudah beristri dan beranak.” Kalimat lanjutannya ini, mengisyaratkan pada satu hal. “Godaan ini, tidak hanya menimpa kepada orang kecil, miskin atau tak berduit. Tapi juga menjangkiti mereka yang berdasi, pakaian rapi, banyak harta dan juga berpendidikan tinggi.” Saya yang mendengarkan, bertambah penasaran.
“Dari zamannya nabi adam, hingga akhir zaman kelak, godaan yang satu ini memang sangat dahsyat. Dan, banyak yang masuk ke dalam jurang kesengsaraan lantaran terjerumus ke dalamnya.” Ternyata, sopir angkot ini pandai juga memainkan rasa penasaran lawan bicaranya. Hingga akhirnya, dia menuturkan, “Godaan yang saya maksud, adalah fitnah kaum wanita. Godaan yang sangat dahsyat!”
Cerita pun kembali mengalir, dengan banyak cabang tema, di tengah gegap gempita kota yang tak pernah mati. Hingga akhirnya, saya turun di pertigaan menuju rumah sakit. Ada anak dan istri yang menunggu dengan rindu.
Dialog dengan sopir angkot tadi, membuat diri semakin menunduk dan merasa kecil. Betapa, di luar sana, banyak sekali orang bijak. Meski, casingnya tak bermoral. Sopir itu juga menjelaskan tentang satu hal, bahwa merasa paling hebat, justru membuat diri semakin kerdil.
Sembari merenung di tengah perjalanan, saya tersenyum dengan salah satu godaannya, “Istri Mas orang Manado asli ya?” Saya mengangguk. Lanjutnya, “Pasti cantik. Saya sering melihat orang asli Manado yang cantik-cantik.” Sembari tersenyum, saya menimpali, “Kalau istri saya tampan, berarti saya homo dong, Bang?” Sahut kami bersamaan, “Hahahaha.” []
Pengalaman kebaikan tidak selalu berasal dari orang yang hanya nampak baik dari luarnya. Karena memang, fisik dan tampilan wajah bukanlah jaminan. Justru, dari orang-orang yang terlanjur dipersepsi buruk oleh masyarakat itu pun, kita bisa mendapati pelajaran kebijakan tentang hidup yang kian ganas ini.
Adalah Abang. Seorang lelaki kelahiran tahun 1978. Asli Lampung. Kehidupan yang dia jalani terbilang rumit. Mulai dari biasa, sukses, biasa lagi hingga kemudian terjatuh lantaran tak bijak dalam menyikapi kehidupan.
Lelaki yang sudah beranak dua ini, menuturkan, “Hidup itu harus mempunyai cita-cita, Mas. Cita-cita itu, harus dimiliki sejak kecil.” Dengan semangat, dia menuturkan, di tengah malam, di keramaian salah satu kota di Jabodetabek, “Mas tahu kenapa saya memilih menjadi sopir angkot?” yang ditanya menggeleng lembut, sambil melempar senyum dan tanya melalui sorot matanya, “Karena saya bercita-cita menjadi pembalap, maka saya memilih menjadi sopir angkot” ujarnya, diiringi tawa. Serius.
“Jangan salah, Mas. Meski sopir angkot, saya kenal juga dengan Kapolda Metro Jaya.” Yang diajak cerita, agak bingung. Sayangnya, sohibul hikayat segera menepis keraguan penumpangnya itu sembari menunjukkan fotonya dengan Kapolda yang dijadikan sebagai wall paper ponselnya, “Ini fotonya, Mas.” Seraya menyodorkan.
“Nah, mas ini kan perantauan, sama dengan saya. Saya ada beberapa cerita, semoga bisa menjadikan kita lebih baik, dari hari ini.” Lanjutnya, dengan menjaga tempo kecepatan kendaraannya sembari sesekali minggir ke arah kiri –mencari penumpang. “Yang paling utama, harus rajin menabung. Jangan suka berfoya-foya. Karena, sakit itu datangnya tiba-tiba. Jangan sampai, ketika tiba-tiba kita sakit, tapi tak memiliki uang untuk berobat. Atau, ada kepentingan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan, dan membutuhkan banyak uang.” Nasehatnya bijak.
Berselang jenak, dia melanjutkan, “Saya pernah mengalami kejadian memilukan ini, Mas. Ketika bapak saya wafat, saya terancam tidak bisa pulang karena tak memiliki uang sepeserpun.” Matanya menerawang, berkaca-kaca. “Untungnya, ada keluarga yang meminjami saya ongkos.” Ternyata, dalam banyak kasus, wajah yang nampak sangar, bisa meneteskan air mata juga, ketika perasaannya teraduk-aduk.
“Dari pengalaman itu, saya mulai bekerja dengan sungguh-sungguh. Hingga akhirnya, saya menikah dan sekarang sudah mempunyai dua orang anak. Selain rajin menabung, hindari sikap sombong. Sikap inilah yang akan menjatuhkan kita. Oya, Mas sudah nikah?” serta merta, dia melempar tanya. Yang ditanya, mengangguk, pelan, “Alhamdulillah, sudah. Baru lima bulan.”
“Berarti pengantin baru ya, Mas?” ujarnya menggoda. “Mas harus mewaspadai satu godaaan. Bagi saya, ini godaan yang paling berbahaya. Kalau sekedar arak, harta, atau yang lain, saya masih bisa menjauhi. Tapi yang satu ini, sangat susah!” dia semakin bersemangat. Yang diajak bercerita mulai menunjukkan kebingungan, bertanya-tanya dalam hati.
“Godaan yang satu ini, bukan hanya dialami oleh mereka yang masih lajang. Tapi juga menimpa mereka yang sudah beristri dan beranak.” Kalimat lanjutannya ini, mengisyaratkan pada satu hal. “Godaan ini, tidak hanya menimpa kepada orang kecil, miskin atau tak berduit. Tapi juga menjangkiti mereka yang berdasi, pakaian rapi, banyak harta dan juga berpendidikan tinggi.” Saya yang mendengarkan, bertambah penasaran.
“Dari zamannya nabi adam, hingga akhir zaman kelak, godaan yang satu ini memang sangat dahsyat. Dan, banyak yang masuk ke dalam jurang kesengsaraan lantaran terjerumus ke dalamnya.” Ternyata, sopir angkot ini pandai juga memainkan rasa penasaran lawan bicaranya. Hingga akhirnya, dia menuturkan, “Godaan yang saya maksud, adalah fitnah kaum wanita. Godaan yang sangat dahsyat!”
Cerita pun kembali mengalir, dengan banyak cabang tema, di tengah gegap gempita kota yang tak pernah mati. Hingga akhirnya, saya turun di pertigaan menuju rumah sakit. Ada anak dan istri yang menunggu dengan rindu.
Dialog dengan sopir angkot tadi, membuat diri semakin menunduk dan merasa kecil. Betapa, di luar sana, banyak sekali orang bijak. Meski, casingnya tak bermoral. Sopir itu juga menjelaskan tentang satu hal, bahwa merasa paling hebat, justru membuat diri semakin kerdil.
Sembari merenung di tengah perjalanan, saya tersenyum dengan salah satu godaannya, “Istri Mas orang Manado asli ya?” Saya mengangguk. Lanjutnya, “Pasti cantik. Saya sering melihat orang asli Manado yang cantik-cantik.” Sembari tersenyum, saya menimpali, “Kalau istri saya tampan, berarti saya homo dong, Bang?” Sahut kami bersamaan, “Hahahaha.” []
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com