Tengah malam nanti hingga esuk dini hari akan terjadi gerhana bulan total. Bulan akan berwarna kemerah-merahan. Orang-orang Barat menyebu...
Tengah malam nanti hingga esuk dini hari akan terjadi gerhana bulan total. Bulan akan berwarna kemerah-merahan. Orang-orang Barat menyebutnya sebagai “Blood Moon” (bulan darah).
Dalam Islam, tidak ada istilah “bulan darah” dan memang sebaiknya Muslim tidak ikut-ikutan menggunakan istilah itu. Mengapa?
Islam adalah agama yang menghendaki kebaikan bagi umatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Karenanya Al Qur’an mengajarkan doa:
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat serta peliharalah kami dari siksa api neraka” (QS. Al Baqarah : 205)
Islam melarang umatnya meyakini sesuatu yang dapat menjerumuskannya ke dalam kesyirikan dan menghambat kebaikan. Karena dua faktor ini, Islam mengharamkan tathayyur. Yakni merasa sial lantaran ada sebuah kejadian atau hal tertentu. Misalnya seseorang yang akan bepergian kemudian melihat burung terbang ke arah kiri, lalu ia meyakini bahwa itu adalah tanda sial, isyarat akan terjadi kecelakaan atau hal buruk. Ini contoh tathayyur dan hal seperti ini diharamkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ طِيَرَةَ
“Tidak ada tathayyur” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan dalam riwayat Abu Dawud:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
”Tathayyur adalah syirik, tathayyur adalah syirik, tathayyur adalah syirik”
Sebaliknya, Islam menyukai optimisme. Rasulullah menyukai fa’l, kata-kata positif yang menumbuhkan otimisme. Beliau bersabda:
لاَ طِيَرَةَ وَخَيْرُهَا الْفَأْلُ . قَالَ وَمَا الْفَأْلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ
”Tidak ada ‘thiyarah, dan sebaik-baiknya adalah fa’l.” Para sahabat bertanya, “Apa itu fa’l?” Beliau menjawab, “Kalimat baik yang didengar oleh kalian” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam praktiknya, Rasulullah mengganti nama dan istilah negatif yang dapat mengantarkan seseorang pada tathayyur menjadi nama dan istilah positif yang menumbuhkan optimisme dan doa. Beliau mengganti nama ‘Ashi (pendosa) menjadi Abdullah. Beliau mengganti nama Huzn (sedih) menjadi Sahl (mudah). Beliau mengganti nama Zahm (repot) menjadi Basyir. Beliau mengganti nama Ghawi (sesat) menjadi Rusyd (lurus).
Pun, saat beliau melewati beberapa alternatif jalan menuju tujuan yang sama, beliau memilih nama jalur yang positif. Misalnya saat menuju Khaibar untuk berperang, beliau dihadapkan pada empat jalan, yakni Huzn (kesedihan), Syasy (kacau), Hathib (sial), dan Marhab (selamat datang). Maka beliau memilih melewati jalan Marhab.
Demikianlah, jika orang-orang Barat dan sejumlah media menyebut gerhana seperti yang akan terjadi tengah malam nanti hingga esuk dini hari dengan “blood moon” (bulan darah), cukuplah umat Islam menyebut gerhana bulan atau gerhana bulan merah. Istilah “blood moon” (bulan darah) sendiri, oleh sebagian orang Barat diidentikkan dengan hal negatif atau tanda datangnya bencana, bahkan pertanda hari kiamat. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mendudukkan gerhana secara ilmiah sebagai tanda kekuasaan Allah, bahkan tidak boleh dikaitkan dengan kematian atau kehidupan seseorang.
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
"Sesungguhnya matahari dan bulan itu adalah dua tanda kekuasaan Allah. Terjadinya gerhana matahari dan bulan itu bukanlah karena kematian atau kehidupan seeorang. Maka jika engkau melihatnya, berzikirlah kepada Allah" (HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
Dalam Islam, tidak ada istilah “bulan darah” dan memang sebaiknya Muslim tidak ikut-ikutan menggunakan istilah itu. Mengapa?
Islam adalah agama yang menghendaki kebaikan bagi umatnya, baik di dunia maupun di akhirat. Karenanya Al Qur’an mengajarkan doa:
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Islam melarang umatnya meyakini sesuatu yang dapat menjerumuskannya ke dalam kesyirikan dan menghambat kebaikan. Karena dua faktor ini, Islam mengharamkan tathayyur. Yakni merasa sial lantaran ada sebuah kejadian atau hal tertentu. Misalnya seseorang yang akan bepergian kemudian melihat burung terbang ke arah kiri, lalu ia meyakini bahwa itu adalah tanda sial, isyarat akan terjadi kecelakaan atau hal buruk. Ini contoh tathayyur dan hal seperti ini diharamkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ طِيَرَةَ
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menjelaskan dalam riwayat Abu Dawud:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
Sebaliknya, Islam menyukai optimisme. Rasulullah menyukai fa’l, kata-kata positif yang menumbuhkan otimisme. Beliau bersabda:
لاَ طِيَرَةَ وَخَيْرُهَا الْفَأْلُ . قَالَ وَمَا الْفَأْلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ
Dalam praktiknya, Rasulullah mengganti nama dan istilah negatif yang dapat mengantarkan seseorang pada tathayyur menjadi nama dan istilah positif yang menumbuhkan optimisme dan doa. Beliau mengganti nama ‘Ashi (pendosa) menjadi Abdullah. Beliau mengganti nama Huzn (sedih) menjadi Sahl (mudah). Beliau mengganti nama Zahm (repot) menjadi Basyir. Beliau mengganti nama Ghawi (sesat) menjadi Rusyd (lurus).
Salah satu media yang memuat judul heboh soal gerhana |
Pun, saat beliau melewati beberapa alternatif jalan menuju tujuan yang sama, beliau memilih nama jalur yang positif. Misalnya saat menuju Khaibar untuk berperang, beliau dihadapkan pada empat jalan, yakni Huzn (kesedihan), Syasy (kacau), Hathib (sial), dan Marhab (selamat datang). Maka beliau memilih melewati jalan Marhab.
Demikianlah, jika orang-orang Barat dan sejumlah media menyebut gerhana seperti yang akan terjadi tengah malam nanti hingga esuk dini hari dengan “blood moon” (bulan darah), cukuplah umat Islam menyebut gerhana bulan atau gerhana bulan merah. Istilah “blood moon” (bulan darah) sendiri, oleh sebagian orang Barat diidentikkan dengan hal negatif atau tanda datangnya bencana, bahkan pertanda hari kiamat. Hal ini bertentangan dengan ajaran Islam yang mendudukkan gerhana secara ilmiah sebagai tanda kekuasaan Allah, bahkan tidak boleh dikaitkan dengan kematian atau kehidupan seseorang.
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]