Ruhnya adalah kontribusi. Dan nafasnya adalah cinta. Memberi menjadi amal unggulannya. Terus dan terus. Bukan sekali waktu dia memberi na...
Ruhnya adalah kontribusi. Dan nafasnya adalah cinta. Memberi menjadi amal unggulannya. Terus dan terus. Bukan sekali waktu dia memberi namun kehadirannya menjadi bukti kesejukan. Sebagaimana udara. Melingkupi ruang tak menyisakan kekosongan. Kerjanya mungkin sayup dalam diam, tapi di sinilah kebaikan terasa. Tak butuh sanjungan. Biarlah mengalir alamiah. Maka Nafas cintanya bertumbuh. Mekar mencari ruang-ruang kosong. menjadi kokoh dan keutuhan asa.
Totalitas menjadi karakternya. Melengkapi mahakarya pondasi kekokohan bangunan. Mereka bekerja dengan cinta. Cinta yang mengejahwantahkan kebersamaan pada kesatuan tindakan. Cintanya tidak saja melengkapi kepribadiannya namun juga mampu menumbuhkembangkan torehan kegemilangan dan kebaikan sosial. Maka seorang pecinta sejati, biasanya memiliki karya-karya besar dalam panggung sejarahnya. Sebagaimana para pendahulu kita. Maka tak heran, banyak para pahlawan itu mengalami penyiksaan atau ketidakadilan oleh musuh ataupun penguasa. Lantaran menyerukan risalah kebenaran. Begitulah tabiatnya. Perlawanan-demi perlawanan pada penguasa yang tak sensitif pada rakyatnya. Seorang pejuang biasanya mewakafkan dirinya untuk kepentingan umat. Maka mereka hadir untuk mengambil peran ini.
Memang begitulah karekter pejuang. Mereka inilah orang-orang lapar. Lapar dalam menggapai cinta dan ridhoNya. Hingga label yang sebenarnya tak diharapkanpun melekat erat. Para pemburu ilmu. Para pemburu kebaikan. Atau apapun itu. Mereka bak singa di siang hari. Karena tak menyisakan waktu untuk bermanja ria. Semangat berbagi itulah yang menghujam. Dan rahib di malam hari. Totalitas untuk menarik cinta Robbnya.
Maka perjuangan adalah buahnya. Para pejuang, tidak akan puas hanya menunggu dan menjadi penonton. Ada rasa kehilangan momentum. Ada perasaan bersalah. Karena wasiatnya adalah menciptakan momentum. Naluri dirinya akan turun dan masuk dalam ketegangan. Karena para pejuangan meyakini inilah jalan tuhan yang telah disediakan untuknya. Seorang pejuang bukan hidup untuk dirinya sendiri. Dia akan hidup bagai pelita yang menyalah dalam kegelapan kondisi. Maka benarlah apa yang disampaikan oleh Sayid Qutb. Jika kita hidup hanya untuk diri sendiri, maka betapa kita hidup dalam kekerdilan. Orang kerdil, perilakunya pun kerdil. Tindakannyapun kerdil. Maka hiduplah dalam spektrum yang lebih luas. Yang tidak semata berpikir aku ingin jadi apa. Tapi tanyakan pada diri. Allah ingin aku jadi apa? Agar keluasaan kita akan senantiasa berkembang sebagaimana luasnya cakrawala dunia.
Pejuang. Di manakah kau kini. Ketika kepalsuan kolektif menyeruak bak semerbak wewangian. Sementara nafasmu tersengal-sengal. Bersembunyi di balik tembok-tembok yang kokoh. Maka tampillah kau. Berkonfliklah. Jangan sampai sinar cahayamu padam ditelam waktu. Sungguhpun tibalah beribu fitnah menyertaimu, bukankah nabi dan para rosul mengalami hal yang sama. Tidakkah kau ingat kisah para rosul? Maka ruh, nafas dan pengorbananmu kutunggu. Di panggung negeri ini. []
Penulis: Dhiyaa Uddin
Pemalang
Totalitas menjadi karakternya. Melengkapi mahakarya pondasi kekokohan bangunan. Mereka bekerja dengan cinta. Cinta yang mengejahwantahkan kebersamaan pada kesatuan tindakan. Cintanya tidak saja melengkapi kepribadiannya namun juga mampu menumbuhkembangkan torehan kegemilangan dan kebaikan sosial. Maka seorang pecinta sejati, biasanya memiliki karya-karya besar dalam panggung sejarahnya. Sebagaimana para pendahulu kita. Maka tak heran, banyak para pahlawan itu mengalami penyiksaan atau ketidakadilan oleh musuh ataupun penguasa. Lantaran menyerukan risalah kebenaran. Begitulah tabiatnya. Perlawanan-demi perlawanan pada penguasa yang tak sensitif pada rakyatnya. Seorang pejuang biasanya mewakafkan dirinya untuk kepentingan umat. Maka mereka hadir untuk mengambil peran ini.
Memang begitulah karekter pejuang. Mereka inilah orang-orang lapar. Lapar dalam menggapai cinta dan ridhoNya. Hingga label yang sebenarnya tak diharapkanpun melekat erat. Para pemburu ilmu. Para pemburu kebaikan. Atau apapun itu. Mereka bak singa di siang hari. Karena tak menyisakan waktu untuk bermanja ria. Semangat berbagi itulah yang menghujam. Dan rahib di malam hari. Totalitas untuk menarik cinta Robbnya.
Maka perjuangan adalah buahnya. Para pejuang, tidak akan puas hanya menunggu dan menjadi penonton. Ada rasa kehilangan momentum. Ada perasaan bersalah. Karena wasiatnya adalah menciptakan momentum. Naluri dirinya akan turun dan masuk dalam ketegangan. Karena para pejuangan meyakini inilah jalan tuhan yang telah disediakan untuknya. Seorang pejuang bukan hidup untuk dirinya sendiri. Dia akan hidup bagai pelita yang menyalah dalam kegelapan kondisi. Maka benarlah apa yang disampaikan oleh Sayid Qutb. Jika kita hidup hanya untuk diri sendiri, maka betapa kita hidup dalam kekerdilan. Orang kerdil, perilakunya pun kerdil. Tindakannyapun kerdil. Maka hiduplah dalam spektrum yang lebih luas. Yang tidak semata berpikir aku ingin jadi apa. Tapi tanyakan pada diri. Allah ingin aku jadi apa? Agar keluasaan kita akan senantiasa berkembang sebagaimana luasnya cakrawala dunia.
Pejuang. Di manakah kau kini. Ketika kepalsuan kolektif menyeruak bak semerbak wewangian. Sementara nafasmu tersengal-sengal. Bersembunyi di balik tembok-tembok yang kokoh. Maka tampillah kau. Berkonfliklah. Jangan sampai sinar cahayamu padam ditelam waktu. Sungguhpun tibalah beribu fitnah menyertaimu, bukankah nabi dan para rosul mengalami hal yang sama. Tidakkah kau ingat kisah para rosul? Maka ruh, nafas dan pengorbananmu kutunggu. Di panggung negeri ini. []
Penulis: Dhiyaa Uddin
Pemalang