Judul : ‘Izrail Bilang, Ini Hari Terakhirku Penulis : Ahmad Rifa’i Rif’an Penerbit : Mizania - Bandung Tebal : 132 Halaman C...
Penulis : Ahmad Rifa’i Rif’an
Penerbit : Mizania - Bandung
Tebal : 132 Halaman
Cetakan : I, Agustus 2014
ISBN : 978-602-1337-16-5
Kematian adalah misteri. Tak ada yang tahu kapan, dimana dan bagaimana datangnya. Di dalam kemisterian itu, Allah Swt menciptakan amat banyak hikmah. Salah satunya, agar manusia senantiasa bersungguh-sungguh menjalani hidup, sebab yakin akan pastinya mati dan bersiap diri untuk menyambutnya guna mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di akhirat kelak.
Tersebutlah dalam sebuah hikayat seorang rakyat yang menderita penyakit kronis dan divonis mati oleh tabib di sebuah negeri. Karena kesadarannya itu, ia bergegas menuju ke istana dan mengajukan dirinya sebagai prajurit.
Setelah melalui serangkaian seleksi, diterimalah ia sebagai salah satu prajurit. Sebab vonis mati oleh sang tabib, ia berniat untuk memberikan yang terbaik untuk negerinya. Dalam fikirannya, daripada mati konyol, akan lebih baik jika mati dalam keadaan membela negara sebagai pahlawan.
Maka jadilah ia sosok yang amat pemberani. Dia senantiasa menjadi yang terdepan dalam perang. Hingga tercatatlah ia sebagai prajurit teladan yang harum namanya di kalangan sesama prajurit maupun musuh.
Atas jasanya itu, sang Raja mengumpulkan seluruh tabib terbaik di negerinya guna mengobati prajurit terbaik itu. Hingga terkumpulah seluruh tabib dan diobatilah ia hingga benar-benar sembuh dari sakit kronisnya.
Ironisnya, selepas sembuh, ia justru menjadi amat penakut. Khawatir akan datangnya mati setelah sebelumnya ia begitu gigih menjemput mati sebagai pahlawan. Hingga akhirnya, prajurit itu absen dari banyak perang dan mengakhiri sejarah hidupnya, bukan sebagai pahlawan.
Kisah ini, dan banyak kisah lainnya, dituturkan dengan mengalir oleh Ahmad Rifa’i Rif’an dalam bukunya ini.
Bahasa seerhana dan mengalir sudah menjadi kekhasan penulis muda asal Lamongan ini. Ia piawai menggabungkan kisah dengan retorikanya yang apa adanya. Hingga buku tipis ini, amat nikmat ditelususri dan diambil hikmahnya hanya dalam sekali atau dua kali membaca.
Meski tipis, di dalamnya banyak renungan kehidupan. Bahwa mati adalah kepastian, lalu apakah alasan yang kita gunakan sehingga menyia-nyiakan hidup yang hanya sekali diberikan oleh Allah Swt?
“Jangan sampai umur bertambah, tapi ibadah tidak kunjung bertambah,” katanya lugas sebagaimana termaktub di halaman 27. Lanjutnya, “inilah yang jadi masalah. Jangan sampai umur kita makin dekat dengan kubur, tapi ibadah kita dari dulu sampai sekarang tidak bertumbuh subur.”
Buku ini sendiri dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, berupa renungan bahwa mati itu pasti. Sehingga kita harus bersiap diri akan kepastian kedatangannya.
Bagian kedua berupa renungan untuk anak agar tidak mendurhakai kedua orang tuanya. Karena berbakti kepada orangtua adalah kunci keberkahan hidup di dunia dan jaminan keselamatan di akhirat. Sebaliknya, di bagian ini juga terdapat seruan kepada orang tua agar tidak mendurhakai anak-anaknya.
Bagian ketiga diisi dengan aneka cerita kehidupan yang bermanfaat. Baik tentang keharusan berlaku bijak dalam menyikapi perbedaan, pentingnya memiliki impian yang tinggi dalam hidup dan kesungguhan dalam meujudkannya.
Buku ringkas ini menyajikan perspektif tersendiri. Sebab kesederhanaannya mudah dimafhumi oleh pembaca pemula. Bagi mereka yang berhasrat dan hendak melangkah menjadi penulis, buku ini adalah sebuah contoh. Bahwa penerbit menghendaki sebuah karya yang sederhana, aplikatif dan dibutuhkan banyak orang.
Semoga hadirnya buku bisa semakin memotivasi kita untuk terus berbenah. Sehingga diri tak sibuk bertanya, “Kapan kita mati?” Tapi seharusnya, diri lebih disibukkan dengan menjawab pertanyaan, “Apakah bekal yang sudah kita siapkan untuk menyambut kematian?” []
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com