Dalam pergaulan sehari-hari, amat mudah kita temukan para pria yang menahan-nahan atau menunda-nunda pernikahannya walaupun usia mereka suda...
Dalam pergaulan sehari-hari, amat mudah kita temukan para pria yang menahan-nahan atau menunda-nunda pernikahannya walaupun usia mereka sudah di atas kepala empat. Beragam alasan mereka berikan; beginilah, begitulah, yang intinya sama: belum menemukan kecocokan. Tanpa terkecuali di kalangan pria yang sudah berinteraksi dalam dunia dakwah, mereka juga enggan menyegerakan pernikahan betapapun sudah paham makna dan manfaatnya kewajiban berumah tangga.
Kecocokan bagi pria, termasuk para ikhwan (sebutan bagi pria yang berinteraksi dalam dakwah), berarti akan ada sekian ratus alasan untuk tidak bergegas menggenapkan agamanya. Status bujangannya masih dibiarkan terpampang sekalipun dirinya sering disindir di mana-mana oleh banyak rekan dan relasi.
Padahal, kecocokan itu relatif, bisa dibicarakan dengan pikiran dan hati jernih pula. Akal dan hati bisa berdialog untuk merumuskan kecocokan bagaimana yang sesuai dengan kebutuhan. Jangan sampai, kecocokan itu berarti sekian ratus daftar keinginan; bukan kebutuhan. Tentu berbeda antara keinginan dan kebutuhan ini. Boleh jadi si pria mengingini perempuan seperti Oki Setiana Dewi, tapi persoalannya adalah apakah selebritas ini tepat seperti kebutuhan si pria di masa-masa mendatang?
Alasan menunda hingga usia berkarat pada pria sering kali berkaitan dengan memori. Ya, kenangan indah pada seseorang (perempuan) di masa lalu. Saya pribadi kerap mendapati ini; mulai dari teman, relasi, bahkan keluarga sendiri. Ingatan pada ‘mantan’ begitu kuat melekat hingga menghempaskan kekinian yang harusnya dihadapi dengan bijak. Lucunya, di antara ‘mantan’ itu ada yang baru sekadar mengagumi. Belum ada status apa pun!
Seorang relasi masih setia dalam kesendiriannya meski sudah berumur dekati kepala lima. Usut punya usut, ia pernah ‘dikecewakan’ pada akhwat yang ‘lari’ darinya saat taaruf. Si akhwat memilih pria lain. Padahal, putusan si akhwat bukan terbilang pengkhianatan, alias masih dalam batasan syar’i. Walau begitu, relasi saya ini masih terus terngiang dengan sang ‘mantan’ hingga berpuluh kali banyak orang menawarkan pengganti, ia bergeming.
Pada pria yang menunda pernikahan memang kerap bayangan berkesan terhadap sosok perempuan tertentu mampu membiaskan kapasitas dirinya. Yang ditawarkan selaku ‘pengganti’ kerap banyak yang—secara objektif—jauh lebih di atas sosok ‘mantan’ yang diingati terus-menerus. Namun, karena akal dan hati diselubungi memori bercampur nafsu tanpa tersadari, jadilah kesendirian bak sebuah kepahlawanan.
Pria-pria ‘setia’ dengan bayangan memang kudu dikasihani. Mereka masih larut hidup dalam ingatan masa lalu. Hari esoknya bisa positif, kecuali dalam asmara. Asmara tinggal bab yang hilang lantaran ia frustrasi tiadanya sosok pengganti sang ‘mantan’. Asa yang berlebih pada para pria dewasa ini sesungguhnya sebentuk kesetiaan yang fatamorgana. Kesetiaan yang dimelankoliskan seolah dirinya pria yang paling pantas mendampinginya. Seolah dirinya paling setia dan layak melindungi perempuan tercinta yang dianganinya.
Padahal, semua itu hanya imajinasi pengganti kelemahan diri. Duh, kasihan buat para pria yang tenggelam dalam derita cinta tak berbalas ini. []
Oleh : Yusuf Maulana
Sumber: Tarbiyah.Net