ilustrasi @Fotolog Bagi mereka yang bergerak di bidang media, dunia bagai dalam genggamannya. Apalagi ketika mereka bisa menguasai m...
ilustrasi @Fotolog |
Bagi mereka yang bergerak di bidang media, dunia bagai dalam genggamannya. Apalagi ketika mereka bisa menguasai media cetak dan online dalam satu tangan, apa pun yang dimau, bisa diatur dengan mudah. Meski, kesan licik tak sertamerta mudah dihilangkan darinya.
Akhir-akhir ini, perilaku konyol para pelaku media di negeri ini, dirasa semakin menggila. Setelah mendukung seseorang membabi buta dan menghina lainnya tak kalah butanya, aksi konyol itu seakan berlanjut. Dan, entah kapan akhirnya; kita tak tahu persis.
Perilaku konyol yang mendekati gila ini, sejatinya mengundang kemirisan dan keprihatinan. Sebenarnya, kita justru merasa kasihan kepada pelakunya. Baik itu reporternya, redakturnya, jajaran pimpinan redaksi, maupun pemilik media dan pemodalnya. Sebab, ketika nurani mau berkata jujur, ini sudah kelewatan.
Malam ini, ketika kami memosting berita DPR akan memanggil KPK dan Jaksa Agung terkait dugaan kasus Jokowi yang hendak dilantik 20 Oktober mendatang, komentar masuk ke kami amat memprihatinkan. Mereka berdalih, kami yang membawa nama Bersama Dakwah, tak layak beritakan politik. Padahal menurut kami, berita tersebut hanya sebuah kutipan dari media lain yang jelas kredibiltasnya.
Lanjut, di dalam kolom komentar itu, banyak sekali kalimat sumbang dan jorok yang digunakan. Baik itu yang nada jorok, mengeluarkan kata kotoran hewan maupun manusia, juga sumpah serapah yang menyertakan hewan-hewan tak bermoral nan menjijikkan. Entah, komentar bernada cacian itu benar karena cintanya pembaca kepada kami, atau fanatismenya kepada sosok yang kami beritakan.
Jika, dalam berita itu ada kesalahan kami, dimana letaknya?
Berselang puluhan menit dari postingan kami tersebut di Fans Page, penulis terhenyak ketika menerima kiriman link berita dari sebuah kanal berita online yang menginduk kepada sebuah televisi nasional dan jaringan medianya yang (kebetulan) mendukung salah satu capres pada pilpres lalu.
Dari judulnya, jelas amat provokatif nan tendensius. Ini semacam teknik untuk menarik minat pembaca dengan jalan yang tak benar-benar bersih. Bahkan, andai mau bertutur dengan nurani jujur, judulnya saja amat menyesakkan pikiran mereka yang masih waras.
Memang, dalam judul tersebut, ada perbedaan nama hanya dari satu huruf dalam rangkaian nama tokoh nasional yang terdiri dari dua kata berawalan A dan akhiran S pada kata kedua. Bedanya, jika sang tokoh nasional menggunakan E pada huruf kelima kata pertamanya, yang dimaksud dalam berita itu, tak ada E di dalamnya.
screen shoot berita terkait |
Tentu, ini menjadi bias. Sebab mereka bisa saja berkelit. Mungkin, kita hanya perlu bersangka; baik ataupun buruk. Apakah murni untuk mengundang pengunjung sehngga hasilkan rupiah? Ataukah murni bentuk ‘balas dendam’ dan serangan balik sebab sang tokoh nasional amat tak mendukung capres yang dulu didukung oleh televisi nasional ini dan jaringan medianya?
Entahlah, kami hanya ingin tegaskan satu hal yang dipesankan oleh Sayyid Quthb, “Jadilah media bagi dirimu sendiri.” [Pirman]