Ilustrasi @ gamexeon Pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang luwes, mudah belajar, dan gampang menyesuaikan keadaan...
Ilustrasi @ |
Pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang luwes, mudah belajar, dan gampang menyesuaikan keadaan dengan kondisi yang dialami. Selain itu masyarakat kita merupakan peniru yang ulung dengan konsep ATM, Amati Tiru Modifikasi. Sehingga melahirkan kreatifivas tiada henti. Masyarakat kita tidak pernah mengalami kesulitan untuk meneladani sesuatu atau minimalnya menyesuaikan dengan trend terbaru yang sedang menjadi epidemi di masanya.
Masyarakat hanya perlu dibiasakan. Banyak yang kaget dengan tindakan merokok Menteri Susi karena frame pikiran kita tidak mungkinlah menteri berani merokok di depan kamera media. Itu frame pikiran yang bagus, dan masyarakat sudah terbiasa dengan itu.
Tetapi jika perilaku Menteri Susi itu terus menerus di ekspos, bukan mustahil frame masyarakat berubah, semakin terbiasa melihat menteri perokok. Akhirnya dianggap bukan hal aneh lagi jika menteri merokok di depan kamera media. Terus terang, saya ingin menyampaikan secara jujur bahwa pengaruh media itu sangat besar.
Sebenarnya menjadi perokok itu bukan aib. Jauhkanlah perdebatan mengenai boleh tidaknya merokok. Permasalahan muncul jika yang bersangkutan adalah pejabat negara, memamerkan kebiasaannya merokok di depan media, sedangkan kedudukannya adalah menjadi suri teladan bagi bangsanya.
Taruhlah dia seorang perokok, bahkan negarawan besar kita The Grand Oldman of Indonesia H. Agus Salim adalah seorang perokok berat. Tapi dia tahu etika. Tahu kapan waktunya merokok dan di mana tempatnya. Pernah suatu kali dia hadir dalam acara yang diselenggarakan Kerajaan Protestan Belanda. Ketika sesi hisap cerutu, dengan santainya H. Agus Salim mematik korek untuk menyulut rokok kreteknya, berbeda dengan bangsawan lain yang menghisap rokok yang menurut mereka lebih berkelas. Karuan saja aroma asapnya mengepul laksana kereta batu bara. Tentu saja sang Tuan Rumah risih. Dia bertanya, ""Bau apakah ini? Sangat tidak sedap."
Dengan gentle H. Agus Salim berdiri dan berkata, "Bau itu berasal dari cengkeh rokok yang saya hisap Yang Mulia. Bolehlah paduka tidak menyukainya, tetapi bau asap inilah yang membawa leluhur paduka datang ke Tanah Kami tiga ratus tahun yang lalu." Sebuah pernyataan yang jitu dan membuat mereka diam takberkutik.
Susi sebagai seorang menteri seharusnya menahan diri, tahu dirilah posisinya sekarang. Jika dia sudah tidak tahan untuk merokok, pamitlah sebentar ke toilet, merokoklah sepuasnya di sana. Akan menjadi tindakan yang buruk ketika dia merokok di depan media.
Kiranya Paduka Yang Mulia Presiden Ir. Joko Widodo perlu memperhatikan pola perilaku 34 menteri pembantunya itu agar tidak merusak ide besar Revolusi Mental yang didegung-degungkannya. Jangan hanya sibuk mengurus kodok. Toh katanya kodok-kodoknya sekarang sudah mati?
Dengan melihat realitas yang ada, agaknya beralasan jika saya sebut warning: Indonesia kehabisan SDM berkualitas dengan kriteria bukan perokok dan tidak bertato. Maka jangan salahkan Jokowi memilih ibu Susi karena menurutnya pemilik usaha pesawat terbang inilah yang terbaik dari stok yang ada.
Ayo manusia-manusia Indonesia nonperokok dan nontato tingkatkan kualitasmu agar pemimpin ke depannya tidak mengalami kebingungan akibat krisis SDM berkualitas.
Akhirnya tulisan ini saya pungkasi dengan sebuah fiksi mini. Saya termasuk yang menyakini bahwa karya sastra adalah salahsatu alat yang ampuh untuk merekam jiwa zaman atau lazim disebut juga sebagai zeitgeist.
***
Fiksi Mini: Mencari Pembenaran
Kepulan asap rokok menjadi pemandangan sehari-hari lima tahun ke depan. Tua, muda, remaja, bahkan anak-anak menghisap Tuhan sembilan senti (mengutip Taufik Ismail) itu. Mereka tidak sungkan lagi. Tidak ada yang mau berhenti, mereka bilang, "Ah gampang saja, kami punya teladan. Itu Bu Susi Menteri Kelautan dan Perikanan saja terang-terangan merokok di depan media. Sah-sah saja toh."[]
Penulis : HD Gumilang
Editor : Pirman