ilustrasi @ tupianxiaozhan Tere Liye menjadi sosok yang tak asing lagi dalam dunia literasi negeri ini. Sedari mula, sosoknya sudah pun...
ilustrasi @ |
Tak mudah, sungguh tak mudah. Sebab menulis memang jalan terjal. Pasalnya, banyak sekali nama novelis di negeri ini yang langsung tamat selepas menyelesaikan satu atau dua buku. Tapi, Tere Liye tidak demikian.
Diantara banyak sebab yang mengantarkannya pada posisi ini adalah kepiawaiannya dalam memoles kesederhanaan. Hal inilah yang menjadi sumber inpsirasinya hingga karyanya tak terbendung. Hampir tiap bulan, selalu lahir karya baru dengan cara berkisah dan materi cerita yang berbeda. Sungguh, ini amat tidak mudah. Apalagi, ia mendistribusikan karyanya ke banyak penerbit. Sehingga, ia bukanlah penulis yang ‘dimiliki’ penerbit tertentu.
Satu diantara gubahan terbarunya adalah buku tebal bertajuk Rindu. Rindu adalah gumulan antara perjuangan, persahabatan, cinta, dan pengorbanan. Mengambil sudut pandang jauh ke belakang ketika zaman penjajahan Belanda adalah cara terbaik untuk mengingatkan pembaca supaya bangkit dari keterpurukan yang tengah melanda negeri ini.
Dibalut dalam kisah besar bertemakan menunaikan ibadah Haji melalui jalur laut adalah cara lain yang diambil oleh penulisnya. Dalam rangkaian perjalanan besar sepanjang sembilan bulan inilah semua dibincangkan. Meski tidak tuntas menceritakan detail sembilan bulan perjalanan, pengisahan waktu tiga puluh hari dari Makasar menuju Jeddah melalui jalur laut adalah hal yang tak biasa. Katanya, ibadah Haji adalah perjalanan panjang menafsiri rindu.
Mulanya, Rindu berjalan membosankan. Ia hanya berkisar seputar pagi, siang, sore dan malam di sebuah kapal besar bernama Blitar Holland. Sebuah kapal uap milik pemerintah Belanda yang digunakan untuk angkutan transportasi bagi jama’ah haji negeri ini.
Sampul Buku |
Di dalam kapal yang mulanya digunakan untuk mengangkut barang itu, dibincanglah lima pertanyaan dan jawaban tentang rindu. Dengan kiasan dan ungkapan yang merangsang pembacanya untuk merenung, kisah berjalan antara keluarga Daeng Andipati, Gurutta Ahmad Karaeng, Bounda Ope, Ambo Uleng, pasangan Mbah Kakung dan Mbah Putri yang terhubung harmonis dengan seluruh penumpang dari berbagai sudut negeri, kelasi kapal dan tentara Belanda di kapal itu.
Konflik dalam novel ini diawali pertentangan antara tentara Belanda penjaga kapal yang dikomandoi Sergeant Lucas dengan Gurutta Ahmad Karaeng di Makassar. Gurutta yang merupakan dai dicurigai sebagai provokator yang bisa menghasut penumpang untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda. Dilanjutkan dengan perlawanan pejuang gerilya di Surabaya, konflik berikutnya baru benar-benar muncul dan mencuat di bagian ke dua puluh satu dari total lima puluh satu bagian novel ini.
Barulah setelah itu, pertanyaan tentang rindu dan kehidupan ditemukan jawabannya. Mulai dari Bounda Ope sang guru ngaji yang ternyata mantan pezina (h. 222), Daeng Andipati yang terlihat sukses dan bahagia namun menyimpan dendam kesumat dalam hati terhadap ayah kandungnya (h. 377), kisah sejati sepasang Mbah Kakung dan Mbah Putri yang telah menjalin hubungan pernikahan selama puluhan tahun dan harus berpisah karena ajal di tengah samudra (h. 473), makna cinta sejati Ambo Uleng yang dijelaskan oleh Gurutta sebagai bentuk melepaskan (h. 494), dan sindiran bagi sebagian kita akan pentingnya amal daripada bicara atau sekedar amal hati (h. 531).
Dalam novel ini, penulis terlihat menyeimbangkan porsi cerita untuk semua tokohnya. Karenanya akan sedikit sulit menyimpulkan siapa tokoh utamanya. Dalam hemat peresensi, sosok Gurutta sejatinya adalah bentuk perenungan penulis akan dirinya. Pasalnya, Tere yang telah menulis banyak novel ini, hampir mirip dengan ulama besar asal tanah bugis yang dikisahkannya ini. Gurutta adalah ulama besar yang telah menulis 100 buku namun pernah dihinggapi kegamangan terkait jalan pena yang dipilihnya itu. Kemudian, dalam kapal menuju baitullah itu, ia ditangkap dan dipenajarakn oleh serdadu Belanda tepat setelah menyelesaikan buku ke 101-nya dengan judul Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa.
Diluar itu semua, ada harapan yang layak disematkan. Semoga Rindu bisa menyusul takdir Hafalan Shalat Delisa yang telah difilmkan. Apalagi, selain sama penulisnya, kedua buku inspiratif ini dilahirkan dari rahim penerbit yang sama juga.
Masih banyak hikmah lain yang dituturkan mengalir dalam Rindu. Dan, tak mungkin disampaikan semua dalam resensi yang amat terbatas ini. Baiknya, pembaca menikmatinya sendiri. []
Detail Buku
Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tebal : 544 hlm
Cetakan : Oktober 2014
ISBN : 978-602-899-790-4
Detail Buku
Judul : Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tebal : 544 hlm
Cetakan : Oktober 2014
ISBN : 978-602-899-790-4