Malam itu, selepas shalat Isya didirikan di Masjid An-Nur Wira Damai, jamaah dikagetkan dengan pemandangan di bagian belakang masjid. Di ...
Malam itu, selepas shalat Isya didirikan di Masjid An-Nur Wira Damai, jamaah dikagetkan dengan pemandangan di bagian belakang masjid. Di sana terlihat seorang lelaki paruh baya berwajah Arab bersama seorang bocah laki-laki yang kira-kira berusia delapan tahun. Di lehernya terpasang syal berbendera Palestina, begitu pula di leher sang anak. Ia berdiri di sekat belakang masjid dengan menggelar selembar sajadah.
Yang membuat hati miris, kaki sebelah kiri laki-laki paruh baya tersebut tampak sudah putus hingga ke bagian paha, sehingga ia harus menyangga tubuhnya dengan bantuan sebatang tongkat agar tetap bisa berdiri. Siapapun yang melihat hal demikian, akan langsung paham bahwa laki-laki itu mengharapkan uluran derma dari jamaah masjid ini. Spontan, satu per satu jamaah tampak mengeluarkan uang dari saku mereka. Aku pun merogoh saku celana. "Alhamdulillah, ada sedikit uang," lirihku dalam hati.
Aku lantas mendekati lelaki paruh baya itu. Setelah mengulurkan sedikit uang yang kubawa, ia menyalamiku dan mengucapkan terima kasih. Melihat syal berbendera Palestina yang tergantung di lehernya, seketika aku ingin bertanya padanya dengan bahasa Arab, "Assalamualaikum. Apakah Anda dari Palestina?" Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, ia balik bertanya kepadaku dengan wajah sumringah, "Masya Allah, kamu bisa bahasa Arab?" "Ya, alhamdulillah," sahutku sambil tersenyum. "Kebetulan dulu saya pernah belajar di Al-Azhar, Mesir," lanjutku lantaran menangkap raut keheranan di wajahnya. Wajar rasanya ia bertanya begitu, karena masyarakat Malaysia sehari-hari hanya akrab dengan bahasa Melayu dan Inggris.
Satu demi satu jamaah masjid ini terus menyumbangkan derma untuknya. Lima ringgit, sepuluh ringgit, dua puluh ringgit. Melihat keadaan tubuhnya yang dibopong dengan tongkat, dengan sedikit berhati-hati aku bertanya kepadanya, "Kaki sebelah kiri Anda ini kenapa?" "Ini akibat serangan Israel di Gaza beberapa waktu yang lalu," ujarnya. "Innaa lillaah," balasku lirih. "Lan yushiibanaa ilaa maa kataballaahu lanaa. Tidak akan ada yang menimpa kami kecuali apa yang sudah Allah gariskan untuk kami," ungkapnya lagi.
Ia mengatakan hal demikian dengan tegar dan amat biasa. Sama sekali tidak tersirat raut sedih dan penyesalan di wajahnya. Khas gaya teman-teman Palestina yang pernah kukenal di Mesir dulu. Ia lalu menceritakan bahwa ia dan keluarganya datang dari Gaza dan baru dua belas hari berada di Malaysia. Ia kini tinggal tak jauh dari Kampung Wira Damai ini.
Aku mengangguk-angguk menyimak penuturannya. Rasanya tidak perlu aku bertanya mengapa ia datang dan apa yang ia lakukan di Negeri Jiran ini. Beberapa kali aku pernah mendapati orang Palestina dan Suriah yang melakukan hal serupa di sejumlah masjid. Dan sependek yang kuketahui, pemerintah Malaysia tidak begitu mempersoalkan kedatangan warga negara-negara Arab yang bergolak itu ke sini.
Setelah perbincangan ringan itu, aku beranjak pamit. Dari jauh aku melihat Pak Cik Fadhli berjalan lebih gegas dari biasanya, bahkan setengah berlari menuju rumah. Sesampai di pintu rumah, aku dapati Pak Cik Fadhli hendak kembali menuju masjid. Beliau lalu bertanya, "Jamil, orang Arab tadi dari mana?" "Dia dari Palestina, Pak Cik," sahutku. Beliau rupa-rupanya melihat percakapanku dengan orang Palestina tadi. Pak Cik Fadhli lantas keluar, sementara tangannya tampak menggenggam sesuatu. Aku yakin, malam itu lelaki Palestina tersebut akan mendapat kejutan dari beliau yang kukenal suka membantu itu. []
Kuala Lumpur, Medio 2014
Penulis: Jemmy Hendiko
Twitter: @JemmyHandy
Yang membuat hati miris, kaki sebelah kiri laki-laki paruh baya tersebut tampak sudah putus hingga ke bagian paha, sehingga ia harus menyangga tubuhnya dengan bantuan sebatang tongkat agar tetap bisa berdiri. Siapapun yang melihat hal demikian, akan langsung paham bahwa laki-laki itu mengharapkan uluran derma dari jamaah masjid ini. Spontan, satu per satu jamaah tampak mengeluarkan uang dari saku mereka. Aku pun merogoh saku celana. "Alhamdulillah, ada sedikit uang," lirihku dalam hati.
Aku lantas mendekati lelaki paruh baya itu. Setelah mengulurkan sedikit uang yang kubawa, ia menyalamiku dan mengucapkan terima kasih. Melihat syal berbendera Palestina yang tergantung di lehernya, seketika aku ingin bertanya padanya dengan bahasa Arab, "Assalamualaikum. Apakah Anda dari Palestina?" Seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, ia balik bertanya kepadaku dengan wajah sumringah, "Masya Allah, kamu bisa bahasa Arab?" "Ya, alhamdulillah," sahutku sambil tersenyum. "Kebetulan dulu saya pernah belajar di Al-Azhar, Mesir," lanjutku lantaran menangkap raut keheranan di wajahnya. Wajar rasanya ia bertanya begitu, karena masyarakat Malaysia sehari-hari hanya akrab dengan bahasa Melayu dan Inggris.
Satu demi satu jamaah masjid ini terus menyumbangkan derma untuknya. Lima ringgit, sepuluh ringgit, dua puluh ringgit. Melihat keadaan tubuhnya yang dibopong dengan tongkat, dengan sedikit berhati-hati aku bertanya kepadanya, "Kaki sebelah kiri Anda ini kenapa?" "Ini akibat serangan Israel di Gaza beberapa waktu yang lalu," ujarnya. "Innaa lillaah," balasku lirih. "Lan yushiibanaa ilaa maa kataballaahu lanaa. Tidak akan ada yang menimpa kami kecuali apa yang sudah Allah gariskan untuk kami," ungkapnya lagi.
Ia mengatakan hal demikian dengan tegar dan amat biasa. Sama sekali tidak tersirat raut sedih dan penyesalan di wajahnya. Khas gaya teman-teman Palestina yang pernah kukenal di Mesir dulu. Ia lalu menceritakan bahwa ia dan keluarganya datang dari Gaza dan baru dua belas hari berada di Malaysia. Ia kini tinggal tak jauh dari Kampung Wira Damai ini.
Aku mengangguk-angguk menyimak penuturannya. Rasanya tidak perlu aku bertanya mengapa ia datang dan apa yang ia lakukan di Negeri Jiran ini. Beberapa kali aku pernah mendapati orang Palestina dan Suriah yang melakukan hal serupa di sejumlah masjid. Dan sependek yang kuketahui, pemerintah Malaysia tidak begitu mempersoalkan kedatangan warga negara-negara Arab yang bergolak itu ke sini.
Setelah perbincangan ringan itu, aku beranjak pamit. Dari jauh aku melihat Pak Cik Fadhli berjalan lebih gegas dari biasanya, bahkan setengah berlari menuju rumah. Sesampai di pintu rumah, aku dapati Pak Cik Fadhli hendak kembali menuju masjid. Beliau lalu bertanya, "Jamil, orang Arab tadi dari mana?" "Dia dari Palestina, Pak Cik," sahutku. Beliau rupa-rupanya melihat percakapanku dengan orang Palestina tadi. Pak Cik Fadhli lantas keluar, sementara tangannya tampak menggenggam sesuatu. Aku yakin, malam itu lelaki Palestina tersebut akan mendapat kejutan dari beliau yang kukenal suka membantu itu. []
Kuala Lumpur, Medio 2014
Penulis: Jemmy Hendiko
Twitter: @JemmyHandy