Ratusan ribu kaum Muslimin menangis saat membaca kisah ini. Ialah keteladanan Habib Mundzir al-Musawa, sang pendiri Majlis Rasulullah. Beliau rela menukar kenyamanan yang berhak dirasakan demi menghormati seorang Biarawi. Sangat mengagumkan.
![]() |
Habib Mundzir @ |
Habib Mundzir bin Fu’ad al-Musawa merupakan salah satu murid terbaik Habib ‘Umar bin Hafidz. Beliau merupakan penndiri Majlis Rasulullah sehingga tercatat sebagai salah satu majlis dengan jumlah jamaah terbesar di negeri mayoritas Muslim ini.
Habib Mundzir al-Musawa merupakan soosk yang lembut hatinya. Beliau bukan hanya baik kepada kaum Muslimin, tetapi juga lembut dan santun kepada non-Muslim.
Di belantara Papua dalam sebuah perjalanan dakwah, beliau telah menunjukkan kelasnya sebagai seorang dai. Ia rela mengorbankan kenyamanan yang berhak dinikmati demi menghormati jasa dan kebaikan seorang biarawati.
Hujan semakin deras mengguyur belantara bumi Cendrawasih. Hati sang Habib pun ikut dibanjiri air mata. Pikirannya tertuju kepada wanita di bak belakang mobil.
“Asri,” ujar sang Habib kepada sopir mobil bak terbuka, “hentikan mobil.”
Asri segera menepi setelah menemukan posisi yang tepat untuk menghentikan laju kendaraan di tengah hujan yang kian deras.
“Saya ingin pindah ke belakang, menggantikan posisi ibu itu. Biarkan dia duduk di tempat saya (ini).” ujar sang Habib, setelah Asri menghentikan mobil.
Betapa berkecamuknya hati sang sopir. Ia tak tega melihat Habib sekaligus gurunya itu berada di bak terbuka hingga diguyuri hujan dan diterpa angin. Asri berupaya menolak keinginan sang Habib, tapi sang Habib justru bersikeras.
“Walaupun non-Muslim, ia adalah seorang wanita (yang) cukup tua. Ia duduk di belakang dengan terpaan hujan. Ia seorang pemuka dan guru agama non-Muslim. Ia tabah dalam berjuang demi agamanya, meski harus diterpa hujan dan panas.” terang sang Habib, suaranya bergetar hebat.
“Sedangkan aku,” lisannya terhenti, diiringi isak yang mulai jelas, “seorang penyeru ke Jalan Allah Ta’ala. Aku malu kepada Allah. Selayaknya aku berjalan kaki 200 kilometer, bukan duduk di bak terbuka yang masih santai. Hati saya tercabik-cabik. Saya malu. Malu sekali.”
Beginilah seharusnya akhlak seorang Muslim. Ia lembut kepada sesama manusia dalam urusan muamalah. Ia juga menyayangi semua makhluk Allah Ta’ala dan berharap agar mereka kembali ke jalan Allah Ta’ala dengan iman yang berkualitas.
Habib Mundzir al-Musawa memang telah pergi, mendahului kita. Tapi teladan cintanya akan senantiasa abadi.
Semoga Allah Ta’ala menerima semua amal shalih sang Habib. Aamiin.
Wallahu a’lam. [Om Pir/Tarbawia]