Ustadz Abrar Rifai yang aktif dalam Aksi Bela Islam III menulis opini bagus tentang aksi 212 dan aksi sebelumnya.
Opini ini sekaligus bantahan telak atas tuduhan para tukang fitnah.
Abrar Rifai hadiri Aksi Bela Islam III di Jakarta pada Jum'at (2/12/16) |
Oleh: Abrar Rifai
Simpul utama dari Gerakan Aksi Bela Islam, mulai yang pertama, kedua, ketiga dan mungkin akan ada lagi lanjutannya, itu adalah Habib Rizieq memang benarlah adanya. Tapi ini bukan terjadi serta merta dan tidak terbentuk instan. Melainkan karena konsistensi Habib Rizieq selama ini dalam menyikapi persoalan serupa. Semua orang tahu bahwa Habib Rizieq dengan FPI-nya selama ini memang konsen dengan perlawanannya terhadap semua bentuk penyimpangan agama dan pelanggaran hukum Negara.
Dimana ada kemaksiatan ilegal, di situ FPI hadir. Kemaksiatan ilegal? Iya, kemaksiatan ilegal! Sebab kemaksiatan yang dilegalkan Negara, FPI tidak tidak akan mengganggunya. Misal begini, kegiatan prostitusi dan penjualan minuman keras di tepi jalan atau di toko-toko umum, FPI akan datang kepada aparat untuk menertibkannya. Kalau aparat tidak juga bertindak, nah baru kemudian FPI akan beraksi dengan menertibkan pelanggaran hukum tersebut dengan caranya sendiri. Tapi untuk penjualan minuman keras di pub-pub resmi, FPI tidak beraksi, karena itu legal. Berijin! Begitu juga dengan tempat prostitusi resmi, FPI tidak datang. Sekali lagi, karena itu legal, berijin. Jadi FPI sangat taat azas. Hormat hukum negara, walau hukum tersebut sebenarnya bertentangan dengan syara’.
Lebih khusus lagi, kita kerucutkan bahasan kita pada pelanggran hukum terkait penistaan agama. Di banyak tempat ada penyimpangan agama, FPI selalu lantang berteriak. Yang saya saksikan sendiri dan saya terlibat, adalah yang terjadi di kampung saya, Lawang, Malang, Jawa Timur. Kasus Shalat dengan bahasa Indonesia yang dilakukan Yusman Roy. Saat itu, Imam Daerah FPI Jawa Timur, Habib Abdurrahman Bahlegah Asseggaf langsung turun tangan berdialog dengan Yusman Roy. Yusman Roy tetap kekeh, FPI tidak menghakimi sendiri Pak Yusman Roy. Tapi FPI menempuh cara-cara legal, meminta fatwa pada MUI, memintakan SK pelarangan kepada Bupati dan Gubernur serta menuntutnya secara hukum. Alhamdulillah, berhasil. Yusman Roy pun akhirnya masuk penjara.
Jadi kalau target maksimal “Hukum Ahok!” disebutkan kurang dicermati banyak kalangan seperti yang ditulis Syarifuddin Abdullah, sebenarnya itu tidaklah benar. Karena memang target ini yang sejak awal diinginkan Habib Rizieq, FPI, GNPF-MUI dan ummat Islam. Semua kita tahu dan media memberitakannya. Jadi jelas, karena targetnya adalah penangkapan Ahok, kalau pada Aksi 1 dan 2 Ahok ternyata masih melenggang, walau sudah jadi terssangka, maka Aksi lanjutan akan tetap ada. Sebab sekali lagi, targetnya memang Ahok masuk bui, setelah atau pun sebelum divonis. Hanya saja yang membuat saya tertawa, Syarifuddin menulis bahwa peserta Aksi Bela Islam 1 sejumlah 5000 orang. Padahal kenyataannya 100.000 lebih manusia.
Ummat Islam yang baik itu adalah yang tidak terlalu fanatik dengan ormas apapun yang menjadi afiliasinya. Sebab FPI bisa salah. Persis, Muhammadiyah dan semua Ormas Keagamaan lainnya juga bisa salah. Sebagaimana NU juga bisa salah. Bagi ummat Islam yang cerdas, masalah ormas sudah selesai. Cair secair-cairnya. Sebab sekarang ini, bukan orang NU bisa jadi lebih sering tahlilan dan baca maulid dari orang NU. Orang NU juga bisa lebih keras membid’ahkan daripada orang Persis atau pun Salafi. Sebagaimana orang Islam pun sebaiknya tidak perlu terlalu mengkultuskan tokoh tertentu. Bagaimana pun manusia tetaplah manusia. Bisa salah bisa lupa. Hari ini melarang, bisa jadi besok menyuruh. Hari ini memerintahkan, bisa jadi besok mencegah. Makanya berguru itu jangan hanya kepada satu orang. Sebagaimana Imam Syafii yang mempunyai banyak guru selain Imam Malik.
Maka pada kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok, karena kasus ini menjadi isu Nasional, jelas FPI tidak mungkin sendirian menghadapinya. Ada banyak elemen di luar ormas mainstrem yang mereaksi kasus ini. Habib Rizieq FPI hanyalah salah satunya. Ustadz Bachtiar Nasir itu dari MIUMI, Ustadz Zaitun Rasmin berasal dari Wahdah Islamiyah, ada Munarman, Muhammad Al-Khaththath dan lain sebagainya. Justru saya tidak melihat keterlibatan Ustadz Shabri Lubis, Ketum FPI terlalu dominan di dalam gerakan ini.
Karena FPI hanyalah salah satu dari elemen ummat Islam Indonesia, maka tuntutan penangkapan Ahok jelas tidak hanya menjadi urusan FPI saja. Untuk meminta ormas-ormas lainnya juga tidak mungkin. Maka kemudian harus ada satu lembaga yang bisa menghimpun semua di dalamnya. Sehingga dibentuklah GNPF-MUI. Jadi mereka yang terlibat, baik tokoh maupun massanya, sudah meninggalkan afiliasi formalnya. Walau pun untuk tidak sama sekali terlihat ormas masing-masing itu jelas tidak mungkin. Itu sama halnya menyuruh orang Indonesia yang menjadi warga negara Prancis untuk tidak bisa berbahasa Indonesia. Makanya pada Aksis 212 yang lalu, saya melihat ada beberapa bendera NU yang berkibar di tengah lautan manusia.
Kita belum tahu, apakah yang disebutkan Syarifuddin Abdullah bahwa GNPF ini sebagai organisasi taktis, sekedar mengawal kasus Ahok memang nanti akan begitu adanya. Ataukah justru akan dipermanenkan menjadi satu lembaga formal. Sebab kalau terkait fatwa MUI betapa banyak fatwa MUI yang tidak dijalankan, baik oleh masyarakat atau pun oleh Pemerintah sendiri. Jadi, kalau nanti GNPF-MUI ini benar-benar dipermanenkan, sesungguhnya banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Bagusnya lagi, kalau nanti ini dipatenkan, bisa menjadi jembatan bagi semua komponen ummat Islam dari berbagai Ormas untuk menjadi titik temu terhadap isu-isu sektarian yang sampai sejauh ini ummat Islam belum juga bisa keluar dari lilitannya. Tapi di GNPF, terlepas memang ada satu isu yang sama untuk menangkap Ahok, ummat Islam bisa bersatu dalam satu Komando. Ibarat Habib Rizieq itu Presidennya, Bachtiar Nasir adalah Perdana Menterinya. Sedang Munarman adalah Panglimanya.
Catatan saya, sentral dan dominasi Habib Rizieq di GNPF-MUI tidaklah dimaksudkan demikian. Habib Rizieq dan orang-orangnya tidak pernah mengupayakannya. Bahkan dalam beberapa momen, justru Habib mendorong Bachtiar Nasir untuk melakukan. Misal, saat negosiasi di Istana pada Aksi 411 yang lalu. Yang masuk ke Istana adalah Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Zaitun Rasmin, KH. Misbahul Munir, dan Ust. Arifin Ilham. Dalam banyak tampil di media pun Habib sengaja membatasi. Begitu juga konsolidasi ke daerah, lebih banyak dilakukan Ust. Bachtiar Nasir. Menurut saya, hal tersebut memang sesuai dengan porsi. Sebab Habib Rizieq di GNPF MUI posisinya adalah Ketua Dewan Pembina. Tapi, memang secara kultural yang mempunyai karisma dan ikatan hati dengan ummat Islam adalah Habib Rizieq. Sehingga walau memang posisi Habib Rizieq sangat sentral dan dominan, hal tersebut terjadi bukan karena sentralisasi dan dominanisasi. Tapi terjadi secara alami, karena kekuatan ruh dan moral yang Habib Rizieq punya.
Terkait pencapain jumlah massa yang sangat banyak sekali pada Aksi 212, sebenarnya tidak sepenuhnya betul karena kepintaran Habib Rizieq memainkan ritme seperti yang ditulis Syarifuddin. Justru sebenarnya disebabkan oleh provokasi Pemerintah dan Polisi yang melarang-larang Aksi tersebut. Semakin dilarang, semakin berkobar semangat kami untuk datang ke Jakarta. Apalagi Polisi menggunakan segala cara untuk menggagalkan aksi tersebut. Sampai puncaknya intimidasi terhadap perusahaan bus. Terus terang, justru karena hal itu kami merasakan satu kewajiban untuk berbondong-bondong ke Jakarta, mengikuti Aksi 212. Puncak di atas puncak, adalah keberanian Kafilah Ciamis yang mulai berjalan kaki, menempuh 300 km untuk sampai ke Jakarta. Darah kami mendidih. Hati kami malu pada Kafilah Ciamis. Iman kami yang tadinya berserakan semakin mengkristal. Maka, kemudian apa yang membuat dunia berdecak kagum terjadi, peserta Aksi 212 berjumlah lebih dari 7 juta ummat Islam!
Terkait apa yang terjadi pada hari H, penunjukan dan pembatalan Kiai Ma’ruf Amin sebagai khatib dan kedatangan Presiden ke panggung utama pada last minute, seperti yang diceritakan Kiai Misbahul Anam, adalah benar-bennar skenario Allah. Jadi penunjukan Kiai Amin sebagai khatib yang menurut Syarifuddin adalah manuver untuk meneguhkan pelaksanaan aksi, sebenarnya tidaklah betul. Begitu juga batalnya Kiai Amin berkhutbah bukan disengaja oleh pihak panitia sebagai upaya untuk membuka ruang selebar-lebarnya untuk tampil, sebagaimana sinyalemen yang dimaksud oleh Syarifuddin. Lah Habib Rizieq tidak usah dibukakan ruang, memang sudah mendapatkan ruang yang paling lebar daripada tokoh yang lain. Itu kalau beliau mau. Tapi, beliau tidak mau melakukannya.
Jadi yang benar adalah begini, permintaan KH. Ma’ruf Amin untuk menjadi khatib benar-benar dilakukan karena beliau memang yang paling layak dibandingkan semua ulama lainnya di Indonesia. Beliau adalah Ketua Umum MUI sekaligus Rais Aam PBNU. Dan sebenarnya, kalau Kiai Ma’ruf ternyata berhalangan, GNPF MUI berharap KH. Yunahar Ilyas yang menggantikan beliau. Sebab Kiai Yunahar adalah Waketum MUI sekaligus juga tokoh Muhammadiyah. Tapi rupanya, ini sekali lagi karena skenario Allah. Kiai Ma’ruf sebagai representasi NU tidak batal. Kiai Yunahar sebagai representasi Muhammadiyah juga tidak jadi. Akhirnya yang khutbah adalah Habib Rizieq, yang bukan NU dan bukan Muhammadiyah. Penunjukan Habib sebagai khatib bukan permintaan Habib sendiri. Tapi semua atas kesepakatan GNPF MUI secara koletif.
Malam sebelum hari H, panitia dalam hal ini Ust. Zaitun Rasmin dan Kiai Misbahul Anam masih ‘membujuk’ Kiai Ma’ruf Amin agar bersedia menjadi khatib. Namun Kiai Amin menyatakan tidak berkenan, dengan alasan hasil pertemuan empat mata dengan Presiden. Kalau Presiden hadir, Kiai Ma’ruf akan menjadi khatib. Tapi kalau Presiden tidak hadir, maka beliau pun tidak akan hadir. Karena tidak hadir, maka gak mungkin dong jadi khatib.
Nah, bahwa ternyata Presiden hadir pada last minute, itu benar-benar di luar dugaan Kiai Ma’ruf Amin. Termasuk juga panitia, tidak pernah tahu bahwa Presiden akan hadir. Karena kabarnya, sejak pagi Presiden sudah berada di luar Istana. Memang sengaja untuk tidak hadir. Presiden beralasan tidak mau bertemu dengan orang-orang kasar. “Nanti pasti macam-macam tuntutannya.” lebih jauh Jokowi memberi alasan. Panitia baru mendengar bahwa Presiden akan hadir itu setelah selesai adzan yang pertama, setelah jamaah melakukan shalat qabliyah Jum’at. Mungkin pihak Istana memberi kabar, itu Jokowi sudah jalan dari Istana menuju lokasi. Karena memang tidak ada kabar sebelumnya, jadi panitia pun tidak menyiapkan tempat secara khusus. Tapi untuk sambutan, sebelum adzan yang kedua, panitia sudah mengumumkan kepada jamaah bahwa setelah shalat Jum’at nanti Presiden akan memberikan sambutan.
Ok, Presiden akhirnya datang. Sedangkan Kiai Ma’ruf Amin sudah terlanjut mboten kerso rawuh. Habib Rizieq pun sudah bersiap khutbah. Jadilah akhirnya mau tidak mau, Presiden menyimak dengan serius semua paparan Habib Rizieq yang dirangkumnya pada saat menyampaikan khutbah Jum’at. Keren kan, semuanya atas kehendak Allah. Bukan rekayasa dan bukan skenario. Sebab manusia sebenarnya hanyalah pelaksana dari semua kebaikan yang Allah Kehendaki. Pepatah bahasa Arab menyebutkan, “Ana urid wa Anta turid, walakinnallaha fa’aalun limaa yurid (Saya mau, Anda pun mau, akan tetapi Allah sajalah yang bisa memastikan kemauan-Nya!)”
What’s next? tanya Syarifuddin. Pertanyaan yang kemudian dijawabnya sendiri. Syarifuddin menjelaskan bahwa Habib Rizieq akan terus mendorong tuntutan penahanan Ahok. “Sebab jika Ahok tidak ditahan, maka pamor Habib Rizieq akan kembali meredup.” Wah, ini yang salah. Syarifuddin memberikan penegasan bahwa kasus Ahok adalah panggung Habib Rizieq untuk mengangkat pamor. Syarifuddin harus tahu, bahwa Habib Rizieq tidak kerdil dan murahan begitu. Bahwa Habib Rizieq bersama FPI dan GNPF-MUI akan terus mengawal kasus Ahok, sampai Ahok masuk penjara, itu memang benar. Tapi kalau diniatkan untuk menaikkan pamor Habib Rizieq, itu keliru. Syarifuddin juga salah menggunakan logika, sebab kalau Ahok tidak ditahan, kita akan terus menuntut penahannya. Nah, tanpa dimaksudkan untk menaikkan pamor Habib pun, pamor beliau dengan sendirinya memang akan terus naik. Justru kalau Ahok akhirnya ditahan atau masuk penjara, tuntutan ini akan selesai. Dan secara logika, kasus ini tidak bisa lagi dijadikan panggung untuk manaikkan pamor.
Berikutnya terkait metamorfosis FPI menjadi partai politik dengan sasaran Pemilu 2019, kalau ini murni analisa, saya kira sah-sah saja Syarifuddin membuat dugaan. Masalah benar atau tidak, kita lihat kebenarannya nanti. Tapi sampai sejauh ini, saya justru tidak melihat gelagat ke arah itu. Bahkan sebenarnya FPI dan Habib Rizieq menjaga jarak dari politik praktis. Kalau kemudian ada kontra dengan Ahok atau pun Jokowi, itu lebih kepada persoalan kebijakan dua tokoh ini yang dinilai tidak berpihak kepada ummat Islam khususnya dan terhadap bangsa Indonesia umumnya. Saya pribadi tidak setuju FPI menjadi Parpol. Biarlah FPI tetetap menjadi ormas yang konsisten menjaga moral dan tegaknya peraturan. FPI jangan sampai mencalonkan Habib. Biarlah semua mengalir apa adanya. Kalau memang Allah takdirkan Habib menjadi Presiden, biarlah nanti partai-partai yang sudah ada yang mencalonkannya, tanpa pernah Habib memintanya.
Wallahu A’lam
Lawang, 5/12/2016
*Tulisan ini merupakan tanggapan untuk tulisan Syarifuddin Abdullah di Kompasiana
Dimana ada kemaksiatan ilegal, di situ FPI hadir. Kemaksiatan ilegal? Iya, kemaksiatan ilegal! Sebab kemaksiatan yang dilegalkan Negara, FPI tidak tidak akan mengganggunya. Misal begini, kegiatan prostitusi dan penjualan minuman keras di tepi jalan atau di toko-toko umum, FPI akan datang kepada aparat untuk menertibkannya. Kalau aparat tidak juga bertindak, nah baru kemudian FPI akan beraksi dengan menertibkan pelanggaran hukum tersebut dengan caranya sendiri. Tapi untuk penjualan minuman keras di pub-pub resmi, FPI tidak beraksi, karena itu legal. Berijin! Begitu juga dengan tempat prostitusi resmi, FPI tidak datang. Sekali lagi, karena itu legal, berijin. Jadi FPI sangat taat azas. Hormat hukum negara, walau hukum tersebut sebenarnya bertentangan dengan syara’.
Lebih khusus lagi, kita kerucutkan bahasan kita pada pelanggran hukum terkait penistaan agama. Di banyak tempat ada penyimpangan agama, FPI selalu lantang berteriak. Yang saya saksikan sendiri dan saya terlibat, adalah yang terjadi di kampung saya, Lawang, Malang, Jawa Timur. Kasus Shalat dengan bahasa Indonesia yang dilakukan Yusman Roy. Saat itu, Imam Daerah FPI Jawa Timur, Habib Abdurrahman Bahlegah Asseggaf langsung turun tangan berdialog dengan Yusman Roy. Yusman Roy tetap kekeh, FPI tidak menghakimi sendiri Pak Yusman Roy. Tapi FPI menempuh cara-cara legal, meminta fatwa pada MUI, memintakan SK pelarangan kepada Bupati dan Gubernur serta menuntutnya secara hukum. Alhamdulillah, berhasil. Yusman Roy pun akhirnya masuk penjara.
Jadi kalau target maksimal “Hukum Ahok!” disebutkan kurang dicermati banyak kalangan seperti yang ditulis Syarifuddin Abdullah, sebenarnya itu tidaklah benar. Karena memang target ini yang sejak awal diinginkan Habib Rizieq, FPI, GNPF-MUI dan ummat Islam. Semua kita tahu dan media memberitakannya. Jadi jelas, karena targetnya adalah penangkapan Ahok, kalau pada Aksi 1 dan 2 Ahok ternyata masih melenggang, walau sudah jadi terssangka, maka Aksi lanjutan akan tetap ada. Sebab sekali lagi, targetnya memang Ahok masuk bui, setelah atau pun sebelum divonis. Hanya saja yang membuat saya tertawa, Syarifuddin menulis bahwa peserta Aksi Bela Islam 1 sejumlah 5000 orang. Padahal kenyataannya 100.000 lebih manusia.
Ummat Islam yang baik itu adalah yang tidak terlalu fanatik dengan ormas apapun yang menjadi afiliasinya. Sebab FPI bisa salah. Persis, Muhammadiyah dan semua Ormas Keagamaan lainnya juga bisa salah. Sebagaimana NU juga bisa salah. Bagi ummat Islam yang cerdas, masalah ormas sudah selesai. Cair secair-cairnya. Sebab sekarang ini, bukan orang NU bisa jadi lebih sering tahlilan dan baca maulid dari orang NU. Orang NU juga bisa lebih keras membid’ahkan daripada orang Persis atau pun Salafi. Sebagaimana orang Islam pun sebaiknya tidak perlu terlalu mengkultuskan tokoh tertentu. Bagaimana pun manusia tetaplah manusia. Bisa salah bisa lupa. Hari ini melarang, bisa jadi besok menyuruh. Hari ini memerintahkan, bisa jadi besok mencegah. Makanya berguru itu jangan hanya kepada satu orang. Sebagaimana Imam Syafii yang mempunyai banyak guru selain Imam Malik.
Maka pada kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok, karena kasus ini menjadi isu Nasional, jelas FPI tidak mungkin sendirian menghadapinya. Ada banyak elemen di luar ormas mainstrem yang mereaksi kasus ini. Habib Rizieq FPI hanyalah salah satunya. Ustadz Bachtiar Nasir itu dari MIUMI, Ustadz Zaitun Rasmin berasal dari Wahdah Islamiyah, ada Munarman, Muhammad Al-Khaththath dan lain sebagainya. Justru saya tidak melihat keterlibatan Ustadz Shabri Lubis, Ketum FPI terlalu dominan di dalam gerakan ini.
Karena FPI hanyalah salah satu dari elemen ummat Islam Indonesia, maka tuntutan penangkapan Ahok jelas tidak hanya menjadi urusan FPI saja. Untuk meminta ormas-ormas lainnya juga tidak mungkin. Maka kemudian harus ada satu lembaga yang bisa menghimpun semua di dalamnya. Sehingga dibentuklah GNPF-MUI. Jadi mereka yang terlibat, baik tokoh maupun massanya, sudah meninggalkan afiliasi formalnya. Walau pun untuk tidak sama sekali terlihat ormas masing-masing itu jelas tidak mungkin. Itu sama halnya menyuruh orang Indonesia yang menjadi warga negara Prancis untuk tidak bisa berbahasa Indonesia. Makanya pada Aksis 212 yang lalu, saya melihat ada beberapa bendera NU yang berkibar di tengah lautan manusia.
Kita belum tahu, apakah yang disebutkan Syarifuddin Abdullah bahwa GNPF ini sebagai organisasi taktis, sekedar mengawal kasus Ahok memang nanti akan begitu adanya. Ataukah justru akan dipermanenkan menjadi satu lembaga formal. Sebab kalau terkait fatwa MUI betapa banyak fatwa MUI yang tidak dijalankan, baik oleh masyarakat atau pun oleh Pemerintah sendiri. Jadi, kalau nanti GNPF-MUI ini benar-benar dipermanenkan, sesungguhnya banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Bagusnya lagi, kalau nanti ini dipatenkan, bisa menjadi jembatan bagi semua komponen ummat Islam dari berbagai Ormas untuk menjadi titik temu terhadap isu-isu sektarian yang sampai sejauh ini ummat Islam belum juga bisa keluar dari lilitannya. Tapi di GNPF, terlepas memang ada satu isu yang sama untuk menangkap Ahok, ummat Islam bisa bersatu dalam satu Komando. Ibarat Habib Rizieq itu Presidennya, Bachtiar Nasir adalah Perdana Menterinya. Sedang Munarman adalah Panglimanya.
Catatan saya, sentral dan dominasi Habib Rizieq di GNPF-MUI tidaklah dimaksudkan demikian. Habib Rizieq dan orang-orangnya tidak pernah mengupayakannya. Bahkan dalam beberapa momen, justru Habib mendorong Bachtiar Nasir untuk melakukan. Misal, saat negosiasi di Istana pada Aksi 411 yang lalu. Yang masuk ke Istana adalah Ustadz Bachtiar Nasir, Ustadz Zaitun Rasmin, KH. Misbahul Munir, dan Ust. Arifin Ilham. Dalam banyak tampil di media pun Habib sengaja membatasi. Begitu juga konsolidasi ke daerah, lebih banyak dilakukan Ust. Bachtiar Nasir. Menurut saya, hal tersebut memang sesuai dengan porsi. Sebab Habib Rizieq di GNPF MUI posisinya adalah Ketua Dewan Pembina. Tapi, memang secara kultural yang mempunyai karisma dan ikatan hati dengan ummat Islam adalah Habib Rizieq. Sehingga walau memang posisi Habib Rizieq sangat sentral dan dominan, hal tersebut terjadi bukan karena sentralisasi dan dominanisasi. Tapi terjadi secara alami, karena kekuatan ruh dan moral yang Habib Rizieq punya.
Terkait pencapain jumlah massa yang sangat banyak sekali pada Aksi 212, sebenarnya tidak sepenuhnya betul karena kepintaran Habib Rizieq memainkan ritme seperti yang ditulis Syarifuddin. Justru sebenarnya disebabkan oleh provokasi Pemerintah dan Polisi yang melarang-larang Aksi tersebut. Semakin dilarang, semakin berkobar semangat kami untuk datang ke Jakarta. Apalagi Polisi menggunakan segala cara untuk menggagalkan aksi tersebut. Sampai puncaknya intimidasi terhadap perusahaan bus. Terus terang, justru karena hal itu kami merasakan satu kewajiban untuk berbondong-bondong ke Jakarta, mengikuti Aksi 212. Puncak di atas puncak, adalah keberanian Kafilah Ciamis yang mulai berjalan kaki, menempuh 300 km untuk sampai ke Jakarta. Darah kami mendidih. Hati kami malu pada Kafilah Ciamis. Iman kami yang tadinya berserakan semakin mengkristal. Maka, kemudian apa yang membuat dunia berdecak kagum terjadi, peserta Aksi 212 berjumlah lebih dari 7 juta ummat Islam!
Terkait apa yang terjadi pada hari H, penunjukan dan pembatalan Kiai Ma’ruf Amin sebagai khatib dan kedatangan Presiden ke panggung utama pada last minute, seperti yang diceritakan Kiai Misbahul Anam, adalah benar-bennar skenario Allah. Jadi penunjukan Kiai Amin sebagai khatib yang menurut Syarifuddin adalah manuver untuk meneguhkan pelaksanaan aksi, sebenarnya tidaklah betul. Begitu juga batalnya Kiai Amin berkhutbah bukan disengaja oleh pihak panitia sebagai upaya untuk membuka ruang selebar-lebarnya untuk tampil, sebagaimana sinyalemen yang dimaksud oleh Syarifuddin. Lah Habib Rizieq tidak usah dibukakan ruang, memang sudah mendapatkan ruang yang paling lebar daripada tokoh yang lain. Itu kalau beliau mau. Tapi, beliau tidak mau melakukannya.
Jadi yang benar adalah begini, permintaan KH. Ma’ruf Amin untuk menjadi khatib benar-benar dilakukan karena beliau memang yang paling layak dibandingkan semua ulama lainnya di Indonesia. Beliau adalah Ketua Umum MUI sekaligus Rais Aam PBNU. Dan sebenarnya, kalau Kiai Ma’ruf ternyata berhalangan, GNPF MUI berharap KH. Yunahar Ilyas yang menggantikan beliau. Sebab Kiai Yunahar adalah Waketum MUI sekaligus juga tokoh Muhammadiyah. Tapi rupanya, ini sekali lagi karena skenario Allah. Kiai Ma’ruf sebagai representasi NU tidak batal. Kiai Yunahar sebagai representasi Muhammadiyah juga tidak jadi. Akhirnya yang khutbah adalah Habib Rizieq, yang bukan NU dan bukan Muhammadiyah. Penunjukan Habib sebagai khatib bukan permintaan Habib sendiri. Tapi semua atas kesepakatan GNPF MUI secara koletif.
Malam sebelum hari H, panitia dalam hal ini Ust. Zaitun Rasmin dan Kiai Misbahul Anam masih ‘membujuk’ Kiai Ma’ruf Amin agar bersedia menjadi khatib. Namun Kiai Amin menyatakan tidak berkenan, dengan alasan hasil pertemuan empat mata dengan Presiden. Kalau Presiden hadir, Kiai Ma’ruf akan menjadi khatib. Tapi kalau Presiden tidak hadir, maka beliau pun tidak akan hadir. Karena tidak hadir, maka gak mungkin dong jadi khatib.
Nah, bahwa ternyata Presiden hadir pada last minute, itu benar-benar di luar dugaan Kiai Ma’ruf Amin. Termasuk juga panitia, tidak pernah tahu bahwa Presiden akan hadir. Karena kabarnya, sejak pagi Presiden sudah berada di luar Istana. Memang sengaja untuk tidak hadir. Presiden beralasan tidak mau bertemu dengan orang-orang kasar. “Nanti pasti macam-macam tuntutannya.” lebih jauh Jokowi memberi alasan. Panitia baru mendengar bahwa Presiden akan hadir itu setelah selesai adzan yang pertama, setelah jamaah melakukan shalat qabliyah Jum’at. Mungkin pihak Istana memberi kabar, itu Jokowi sudah jalan dari Istana menuju lokasi. Karena memang tidak ada kabar sebelumnya, jadi panitia pun tidak menyiapkan tempat secara khusus. Tapi untuk sambutan, sebelum adzan yang kedua, panitia sudah mengumumkan kepada jamaah bahwa setelah shalat Jum’at nanti Presiden akan memberikan sambutan.
Ok, Presiden akhirnya datang. Sedangkan Kiai Ma’ruf Amin sudah terlanjut mboten kerso rawuh. Habib Rizieq pun sudah bersiap khutbah. Jadilah akhirnya mau tidak mau, Presiden menyimak dengan serius semua paparan Habib Rizieq yang dirangkumnya pada saat menyampaikan khutbah Jum’at. Keren kan, semuanya atas kehendak Allah. Bukan rekayasa dan bukan skenario. Sebab manusia sebenarnya hanyalah pelaksana dari semua kebaikan yang Allah Kehendaki. Pepatah bahasa Arab menyebutkan, “Ana urid wa Anta turid, walakinnallaha fa’aalun limaa yurid (Saya mau, Anda pun mau, akan tetapi Allah sajalah yang bisa memastikan kemauan-Nya!)”
What’s next? tanya Syarifuddin. Pertanyaan yang kemudian dijawabnya sendiri. Syarifuddin menjelaskan bahwa Habib Rizieq akan terus mendorong tuntutan penahanan Ahok. “Sebab jika Ahok tidak ditahan, maka pamor Habib Rizieq akan kembali meredup.” Wah, ini yang salah. Syarifuddin memberikan penegasan bahwa kasus Ahok adalah panggung Habib Rizieq untuk mengangkat pamor. Syarifuddin harus tahu, bahwa Habib Rizieq tidak kerdil dan murahan begitu. Bahwa Habib Rizieq bersama FPI dan GNPF-MUI akan terus mengawal kasus Ahok, sampai Ahok masuk penjara, itu memang benar. Tapi kalau diniatkan untuk menaikkan pamor Habib Rizieq, itu keliru. Syarifuddin juga salah menggunakan logika, sebab kalau Ahok tidak ditahan, kita akan terus menuntut penahannya. Nah, tanpa dimaksudkan untk menaikkan pamor Habib pun, pamor beliau dengan sendirinya memang akan terus naik. Justru kalau Ahok akhirnya ditahan atau masuk penjara, tuntutan ini akan selesai. Dan secara logika, kasus ini tidak bisa lagi dijadikan panggung untuk manaikkan pamor.
Berikutnya terkait metamorfosis FPI menjadi partai politik dengan sasaran Pemilu 2019, kalau ini murni analisa, saya kira sah-sah saja Syarifuddin membuat dugaan. Masalah benar atau tidak, kita lihat kebenarannya nanti. Tapi sampai sejauh ini, saya justru tidak melihat gelagat ke arah itu. Bahkan sebenarnya FPI dan Habib Rizieq menjaga jarak dari politik praktis. Kalau kemudian ada kontra dengan Ahok atau pun Jokowi, itu lebih kepada persoalan kebijakan dua tokoh ini yang dinilai tidak berpihak kepada ummat Islam khususnya dan terhadap bangsa Indonesia umumnya. Saya pribadi tidak setuju FPI menjadi Parpol. Biarlah FPI tetetap menjadi ormas yang konsisten menjaga moral dan tegaknya peraturan. FPI jangan sampai mencalonkan Habib. Biarlah semua mengalir apa adanya. Kalau memang Allah takdirkan Habib menjadi Presiden, biarlah nanti partai-partai yang sudah ada yang mencalonkannya, tanpa pernah Habib memintanya.
Wallahu A’lam
Lawang, 5/12/2016
*Tulisan ini merupakan tanggapan untuk tulisan Syarifuddin Abdullah di Kompasiana