Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menyebut mata dan penglihatan. Jumlahnya lebih dari 20 ayat. Menunjukkan betapa luar biasanya nikmat mata. Melalui dua ayat ini, mari merenungi nikmat mata.
وَمَا يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ وَالَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَلَا الْمُسِيءُ قَلِيلًا مَا تَتَذَكَّرُونَ
Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman serta mengerjakan amal saleh dengan orang-orang yang durhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al Mu’min: 58)
قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ
الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى
إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" (QS. Al An’am: 50)
Baca juga: Hadits tentang Manisnya Iman
Merenungi Nikmat Mata
Pada dua ayat ini, Allah mengambil perumpamaan orang yang beriman sebagai orang yang bisa melihat, sedangkan orang yang tidak beriman lagi durhaka laksana orang yang buta. Selain memudahkan untuk memahami iman, ayat ini juga menunjukkan betapa besarnya nikmat mata.
Mungkin selama ini dianggap biasa saja, bahkan kita lalai hingga tidak mensyukuri nikmat mata. Padahal mata adalah rezeki yang sangat berharga dan nikmat yang sangat mahal. Dengan mata, kita bisa melihat indahnya dunia. Kita juga bisa melihat wajah anak-anak, istri, dan keluarga tercinta. Mengenali orang-orang dan benda di sekitar kita. Yang lebih nikmat lagi, dengan mata kita bisa tilawah Al-Qur’an dan membaca buku. Lebih mudah mencari ilmu.
Pada dua ayat ini, Allah menggunakan perumpamaan dengan membandingkan orang yang melihat dan orang yang buta. Terlihat sangat kontras, dan tentu kita semua memilih menjadi orang yang melihat daripada menjadi orang yang buta. Demikianlah iman dan kekufuran. Berbeda jauh dan saling bertolak belakang.
Jangankan saat nikmat mata hilang dengan kebutaan, bahkan saat nikmat mata berkurang karena sakit saja, kita merasa sangat tidak nyaman. Merasa sangat kehilangan. Rela mengeluarkan dana besar untuk mengembalikan kesehatan mata.
Misalnya, seseorang yang menderita miopi (rabun jauh), hipermetropi (rabun dekat), astigmatisme (silinder) atau presbiopi (mata tua). Ia harus memakai kacamata atau lensa kontak agar bisa melihat dengan jelas. Itu pun masih terasa memberatkan dan tidak nyaman.
Jika ingin bebas dari kacamata dan lensa kontak, ia perlu mengeluarkan belasan juta per mata untuk operasi lasik. Jika dua mata, biaya operasi lasik bisa mencapai 25-30 juta. Kecuali mendapat promo atau program spesial, biayanya menjadi lebih murah.
Demikian pula jika menderita katarak. Ia akhirnya membayar 8-15 juta untuk operasi katarak per mata. Apalagi kalau penyakit mata yang lebih parah. Maka, tidakkah kita bersyukur dengan nikmat mata ini? Fabiayyi ala irabbikuma tukadziban. Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan?
Mahalnya Nikmat Mata
Jika untuk menyembuhkan kelainan refraksi (miopi, astigmatisme, dan presbiopi) perlu puluhan juta untuk operasi lasik, kita bisa tahu mahalnya nikmat mata. Dan sesungguhnya, nikmat mata jauh lebih mahal dari angka puluhan juta untuk lasik, maupun ratusan juta untuk biaya kesehatan mata secara keseluruhan.
Demikian mahalnya nikmat mata, pernah seorang pemuda mengeluhkan kepada seorang ulama tentang kemiskinannya. Ia merasa tidak mendapatkan banyak rezeki dari Allah dan dijauhkan dari kekayaan.
“Engkau memiliki dua mata. Saat ini, ada orang yang sangat membutuhkan donor mata untuk kesembuhannya. Bagaimana jika engkau jual matamu satu saja. Ia siap membeli 100 juta,” Bukannya memberikan nasihat dengan dalil ayat atau hadits, ulama itu justru melontarkan pertanyaan dan penawaran.
“Mohon maaf Kyai, saya tidak mau.”
“Bagaimana kalau 500 juta?”
“Tidak bisa, Kyai.”
“Bagaimana jika 1 milyar?”
“Maaf Kyai, saya tidak mau.”
“Nah, satu mata saja lebih mahal daripada milyaran rupiah. Lalu mengapa engkau merasa tidak mendapat banyak rezeki?”
Pemuda itu pun terdiam. Ia baru menyadari bahwa selama ini ia kaya dengan begitu banyak nikmat-Nya. [Muchlisin BK/Tarbawia]