Lelaki mulia itu telah dicambuk berkali lipat melebihi rencana semula. "Berapa cambukan yang kamu butuhkan untuk dapat membunuhnya?...
Lelaki mulia itu telah dicambuk berkali lipat melebihi rencana semula. "Berapa cambukan yang kamu butuhkan untuk dapat membunuhnya?" demikian Al-Mu'tashim bertanya pada algojo. "Sepuluh kali" jawab algojo itu memastikan. "Lakukanlah!" perintah Al-Mu'tashim memberi isyarat eksekusi dimulai.
Tidak biasanya. Perkiraan itu meleset. Lelaki macam apa Imam Ahmad bin Hanbal itu? Ia bahkan menyambut cambukan yang mengenai tubuhnya dengan kalimat-kalimat thayibah. Meski lebih dari 20 kali, cambukan algojo itu tak juga membuatnya mati. Mestinya dengan berbekal sakitnya tubuh itu selama di penjara, ia tak lagi kuat berdiri. Namun ia tetap tegap dan kokoh dengan pendiriannya. "Al-Qur'an adalah kalamullah. Bukan makhluk. Datangkanlah dalil dari Al-Qur'an dan hadits jika engkau ingin aku berpendapat seperti kalian!" Al-Mu'tashim bungkam. Seperti bungkamnya para ulama mu'tazilah hari-hari sebelumnya.
"Perkeras cambukannya!" entah yang keberapa kali, sejarah tidak memastikan jumlah cambukan saat itu. Namun Imam Ahmad kemudian tak sadarkan diri. Ketika terbangun, ada yang membawakannya bubur. "Aku tidak akan membatalkan puasaku!" Subhaanallah, beliau menanggung kesakitan dan luka dalam kondisi berpuasa.
Melihat Imam Ahmad shalat sesudah itu, Ibnu Sama'ah bertanya: "Wahai Ahmad, engkau menunaikan shalat sedang darah mengalir membasahi bajumu?" Imam Ahmad menjawab, "Umar bin Khattab telah menunaikan shalat sedang lukanya tetap mengalirkan darah."
Jawaban Imam Ahmad ini bukan saja menjelaskan bolehnya shalat ketika terluka dan darah masih mengalir, dari perspektif fiqih. Lebih dari itu ia mencerminkan bahwa shalat adalah komunikasinya dengan Allah. Shalat sarana mengadu. Dan ia menguatkan. Maka, menghadapi siksaan dan penjara selama 3 periode kekhilafahan: Al-Makmun, Al-Mu'tashim serta Al-Watsiq kelak, Imam Ahmad tetap kokoh dan membaja.
Abu Dawud meriwayatkan hadits yang dinilai hasan oleh Al-Albani: "Ketika Nabi dirundung masalah beliau mengerjakan shalat." Itulah kebiasaan Nabi yang disaksikan para sahabat. Shalat adalah saat-saat menghadap Allah. Bukankah segala permasalahan dan ujian dalam kuasa Allah. Hanya Allah yang kuasa mengangkat masalah itu, atau membuat jiwa-jiwa kokoh menghadapinya.
Seperti halnya saat perjanjian hudaibiyah. Para sahabat tidak memahami kemenangan Islam dalam perjanjian itu sebagaimana Rasulullah mengetahuinya. Mereka tidak terima jika kaum muslimin harus mengalah, atau kalah; dalam persepsi mereka saat itu. Akibatnya perintah Rasulullah untuk mencukur rambut dan menyembelih hewan tidak mereka lakukan. Bukankah masalah bagi seorang qiyadah ketika intruksinya tidak ditaati dengan segera oleh jundiyah? Demikian pula ini masalah bagi Rasulullah. Maka beliau pun masuk tenda. Dialog beliau dengan istrinya, Ummu Salamah, dan usulan solusi dari salah seorang ummahatul mukminin ini mungkin sangat populer bagi kita. Namun tidak banyak yang tahu bahwa di tenda itu Rasulullah melakukan shalat. Dari sanalah beliau mendapatkan ketenangan. Dan dari Allah lah segala solusi datang.
Imam Ahmad yang kokoh dalam perjuangan Islam dan menegakkan sunnah, juga orang yang paling hebat dalam menjalankan sunnah. Mengadu pada Allah dan meminta pertolongan dengan shalat adalah sunnah Nabi. Dan itu yang dilakukannya. "Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat." (QS. Al-Baqarqah : 45).
Tinggallah kita sekarang di zaman yang penuh masalah. Semua muslim menghadapinya. Jangan ditanya kader dakwah. Semakin kuat keimanannya, semakin berat pula ujiannya. Semakin berkualitas seorang kader, semakin hebat pula masalah dan ujian yang dihadapinya. Lalu kembalikah kita kepada Allah dengan shalat? Belum terlambat. [Muchlisin]
Tidak biasanya. Perkiraan itu meleset. Lelaki macam apa Imam Ahmad bin Hanbal itu? Ia bahkan menyambut cambukan yang mengenai tubuhnya dengan kalimat-kalimat thayibah. Meski lebih dari 20 kali, cambukan algojo itu tak juga membuatnya mati. Mestinya dengan berbekal sakitnya tubuh itu selama di penjara, ia tak lagi kuat berdiri. Namun ia tetap tegap dan kokoh dengan pendiriannya. "Al-Qur'an adalah kalamullah. Bukan makhluk. Datangkanlah dalil dari Al-Qur'an dan hadits jika engkau ingin aku berpendapat seperti kalian!" Al-Mu'tashim bungkam. Seperti bungkamnya para ulama mu'tazilah hari-hari sebelumnya.
"Perkeras cambukannya!" entah yang keberapa kali, sejarah tidak memastikan jumlah cambukan saat itu. Namun Imam Ahmad kemudian tak sadarkan diri. Ketika terbangun, ada yang membawakannya bubur. "Aku tidak akan membatalkan puasaku!" Subhaanallah, beliau menanggung kesakitan dan luka dalam kondisi berpuasa.
Melihat Imam Ahmad shalat sesudah itu, Ibnu Sama'ah bertanya: "Wahai Ahmad, engkau menunaikan shalat sedang darah mengalir membasahi bajumu?" Imam Ahmad menjawab, "Umar bin Khattab telah menunaikan shalat sedang lukanya tetap mengalirkan darah."
Jawaban Imam Ahmad ini bukan saja menjelaskan bolehnya shalat ketika terluka dan darah masih mengalir, dari perspektif fiqih. Lebih dari itu ia mencerminkan bahwa shalat adalah komunikasinya dengan Allah. Shalat sarana mengadu. Dan ia menguatkan. Maka, menghadapi siksaan dan penjara selama 3 periode kekhilafahan: Al-Makmun, Al-Mu'tashim serta Al-Watsiq kelak, Imam Ahmad tetap kokoh dan membaja.
Abu Dawud meriwayatkan hadits yang dinilai hasan oleh Al-Albani: "Ketika Nabi dirundung masalah beliau mengerjakan shalat." Itulah kebiasaan Nabi yang disaksikan para sahabat. Shalat adalah saat-saat menghadap Allah. Bukankah segala permasalahan dan ujian dalam kuasa Allah. Hanya Allah yang kuasa mengangkat masalah itu, atau membuat jiwa-jiwa kokoh menghadapinya.
Seperti halnya saat perjanjian hudaibiyah. Para sahabat tidak memahami kemenangan Islam dalam perjanjian itu sebagaimana Rasulullah mengetahuinya. Mereka tidak terima jika kaum muslimin harus mengalah, atau kalah; dalam persepsi mereka saat itu. Akibatnya perintah Rasulullah untuk mencukur rambut dan menyembelih hewan tidak mereka lakukan. Bukankah masalah bagi seorang qiyadah ketika intruksinya tidak ditaati dengan segera oleh jundiyah? Demikian pula ini masalah bagi Rasulullah. Maka beliau pun masuk tenda. Dialog beliau dengan istrinya, Ummu Salamah, dan usulan solusi dari salah seorang ummahatul mukminin ini mungkin sangat populer bagi kita. Namun tidak banyak yang tahu bahwa di tenda itu Rasulullah melakukan shalat. Dari sanalah beliau mendapatkan ketenangan. Dan dari Allah lah segala solusi datang.
Imam Ahmad yang kokoh dalam perjuangan Islam dan menegakkan sunnah, juga orang yang paling hebat dalam menjalankan sunnah. Mengadu pada Allah dan meminta pertolongan dengan shalat adalah sunnah Nabi. Dan itu yang dilakukannya. "Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat." (QS. Al-Baqarqah : 45).
Tinggallah kita sekarang di zaman yang penuh masalah. Semua muslim menghadapinya. Jangan ditanya kader dakwah. Semakin kuat keimanannya, semakin berat pula ujiannya. Semakin berkualitas seorang kader, semakin hebat pula masalah dan ujian yang dihadapinya. Lalu kembalikah kita kepada Allah dengan shalat? Belum terlambat. [Muchlisin]