"Saat malam pertama... aku menangis," kata seorang rekan kerja bercerita kepada kami. Suasana santai pada waktu itu mendadak berub...
"Saat malam pertama... aku menangis," kata seorang rekan kerja bercerita kepada kami. Suasana santai pada waktu itu mendadak berubah mendengar penuturannya. Sebagian dari kami sudah tidak sabar untuk tahu apa sebabnya. Menghela nafas panjang, ada apakah gerangan. Mengapa seorang laki-laki menangis di saat-saat yang seharusnya membahagiakan seperti itu?
"Kenapa kau malah menangis di saat bahagia seperti itu?," akhirnya keluar juga pertanyaan itu. Pertanyaan yang sebetulnya ada dalam diri semua orang yang mendengar cerita ini.
"Aku menangis karena terbebani dengan pikiran bagaimana caraku mengembalikan hutang untuk resepsi siang tadi." Jawabnya polos. Setelah itu ia pun meneruskan ceritanya lebih detail. Tentang resepsi pernikahannya yang menghabiskan biaya besar. Tentang kemampuan finansialnya saat itu. Sudah berlalu beberapa tahun memang. Tapi ia baru menceritakannya di kesempatan ini.
Ada sebuah hikmah berharga dari apa yang dialami kawan saya tadi. Banyak kita dapatkan kejadian yang hampir sama. Mungkin hanya keberadaan tangisnya yang berbeda. Karena tuntutan sosial, gengsi, atau keinginan agar menjadi momen luar biasa yang tiada taranya, kita terjebak pada sikap berlebih-lebihan saat melangsungkan walimah; resepsi pernikahan.
Maka tidak sedikit yang kemudian memilih gedung megah untuk pernikahannya. Membuat undangan yang lux dan mahalnya luar biasa. Dekorasi kelas tinggi dengan segala ornamennya yang gemerlap. Bahkan menambahkan acara hiburan dalam walimah itu sebagai suguhan yang mengundang decak kekaguman. Semuanya menjadi memberatkan. Kemampuan finansial sebenarnya belum menjangkaunya. Tapi demi motif yang melatarinya, ia pun rela berhutang. "Biarpun resikonya harus melunasi selama bertahun-tahun," begitu tekad awalnya, "akan kulakukan". Maka yang terjadi kemudian adalah penyesalan...
Ada juga yang memiliki keinginan seperti itu tapi belum genap keberanian sehingga langkahnya masih terhenti. Dalam pikiran ia telah memiliki ruang harapan sekelas itu, namun kekhawatiran masih menggelayuti. Biasanya terjadi pada mereka yang kemampuan finansialnya lebih rendah lagi. Maka akibatnya adalah menunda genapnya separuh agama itu. Menunda dan menundanya lagi. Untuk mahar sebenarnya tidak ada masalah karena budaya Indonesia tidak seperti budaya Arab yang mensyaratkan mahar bernilai puluhan juta. Kemampuan memberikan nafkah kebutuhan primer pun sebenarnya sudah dimiliki. Namun mereka tidak berani melakukan akad mulia yang digambarkan sebagai mitsaqan ghaliidha itu karena dihantui pikirannya sendiri. Ia belum mampu membiayai walimah sekelas bayangan yang selalu menghiasi hari-harinya.
Entah dari mana asal muasal walimah mewah yang justru memberatkan atau malah membuat takut menikah seperti itu. Yang jelas, walimah di dalam Islam yang terpenting adalah i'lan-nya: pengumuman pernikahan, sehingga masyarakat tahu bahwa lelaki muslim dan wanita muslimah telah menikah, menjadi keluarga baru.
Maka kita pun mendapatkan banyak riwayat betapa simple-nya walimah di zaman Rasulullah. Mudah, ringan. Tidak memberatkan. Murah, tetapi tetap meriah. Misalnya ketika Abdurrahman bin Auf menikah. Rasulullah memerintahkannya mengadakan walimah: "Adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing." Begitu sabda beliau. Saat itu Abdurrahman bin Auf sedang merintis bisnisnya di Madinah. Sebelumnya ia orang yang kaya raya. Kelak juga menjadi orang yang lebih kaya raya lagi; raja bisnis di Madinah. Rasulullah tahu potensi Abdurrahman bin Auf seperti itu. Namun beliau tidak pernah menyuruh Abdurrahman bin Auf menggelar walimah besar-besaran entah dengan hutang atau apa, toh Abdurrahman bin Auf punya potensi membayarnya. Tidak. Rasulullah tidak pernah menyuruhnya berhutang.
Demikian pula kebiasaan Rasulullah sendiri. Dengarlah Anas bin Malik radhiyallaahu anhu menceritakan: "Tidaklah aku saksikan bagaimana Rasulullah menyelenggarakan walimah untuk istri beliau seperti yang aku saksikan saat beliau menikahi Zainab. Baliau menyembelih seekor kambing." Hadits riwayat Imam Bukhari ini menyiratkan betapa walimah dengan seekor kambing sudah termasuk istimewa. Betapa sederhananya dibandingkan relaitas kita hari ini.
Maka bagi Antum yang belum menikah, sesuaikanlah walimah dengan kemampuan finansial antum dan jangan berlebih-lebihan. Semoga tidak ada lagi pengantin yang menangis di malam pertama karena mikir walimah. Dan semoga bukan alasan walimah yang membuat sebagian kita belum juga menikah. [Muchlisin]
"Kenapa kau malah menangis di saat bahagia seperti itu?," akhirnya keluar juga pertanyaan itu. Pertanyaan yang sebetulnya ada dalam diri semua orang yang mendengar cerita ini.
"Aku menangis karena terbebani dengan pikiran bagaimana caraku mengembalikan hutang untuk resepsi siang tadi." Jawabnya polos. Setelah itu ia pun meneruskan ceritanya lebih detail. Tentang resepsi pernikahannya yang menghabiskan biaya besar. Tentang kemampuan finansialnya saat itu. Sudah berlalu beberapa tahun memang. Tapi ia baru menceritakannya di kesempatan ini.
Ada sebuah hikmah berharga dari apa yang dialami kawan saya tadi. Banyak kita dapatkan kejadian yang hampir sama. Mungkin hanya keberadaan tangisnya yang berbeda. Karena tuntutan sosial, gengsi, atau keinginan agar menjadi momen luar biasa yang tiada taranya, kita terjebak pada sikap berlebih-lebihan saat melangsungkan walimah; resepsi pernikahan.
Maka tidak sedikit yang kemudian memilih gedung megah untuk pernikahannya. Membuat undangan yang lux dan mahalnya luar biasa. Dekorasi kelas tinggi dengan segala ornamennya yang gemerlap. Bahkan menambahkan acara hiburan dalam walimah itu sebagai suguhan yang mengundang decak kekaguman. Semuanya menjadi memberatkan. Kemampuan finansial sebenarnya belum menjangkaunya. Tapi demi motif yang melatarinya, ia pun rela berhutang. "Biarpun resikonya harus melunasi selama bertahun-tahun," begitu tekad awalnya, "akan kulakukan". Maka yang terjadi kemudian adalah penyesalan...
Ada juga yang memiliki keinginan seperti itu tapi belum genap keberanian sehingga langkahnya masih terhenti. Dalam pikiran ia telah memiliki ruang harapan sekelas itu, namun kekhawatiran masih menggelayuti. Biasanya terjadi pada mereka yang kemampuan finansialnya lebih rendah lagi. Maka akibatnya adalah menunda genapnya separuh agama itu. Menunda dan menundanya lagi. Untuk mahar sebenarnya tidak ada masalah karena budaya Indonesia tidak seperti budaya Arab yang mensyaratkan mahar bernilai puluhan juta. Kemampuan memberikan nafkah kebutuhan primer pun sebenarnya sudah dimiliki. Namun mereka tidak berani melakukan akad mulia yang digambarkan sebagai mitsaqan ghaliidha itu karena dihantui pikirannya sendiri. Ia belum mampu membiayai walimah sekelas bayangan yang selalu menghiasi hari-harinya.
Entah dari mana asal muasal walimah mewah yang justru memberatkan atau malah membuat takut menikah seperti itu. Yang jelas, walimah di dalam Islam yang terpenting adalah i'lan-nya: pengumuman pernikahan, sehingga masyarakat tahu bahwa lelaki muslim dan wanita muslimah telah menikah, menjadi keluarga baru.
Maka kita pun mendapatkan banyak riwayat betapa simple-nya walimah di zaman Rasulullah. Mudah, ringan. Tidak memberatkan. Murah, tetapi tetap meriah. Misalnya ketika Abdurrahman bin Auf menikah. Rasulullah memerintahkannya mengadakan walimah: "Adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing." Begitu sabda beliau. Saat itu Abdurrahman bin Auf sedang merintis bisnisnya di Madinah. Sebelumnya ia orang yang kaya raya. Kelak juga menjadi orang yang lebih kaya raya lagi; raja bisnis di Madinah. Rasulullah tahu potensi Abdurrahman bin Auf seperti itu. Namun beliau tidak pernah menyuruh Abdurrahman bin Auf menggelar walimah besar-besaran entah dengan hutang atau apa, toh Abdurrahman bin Auf punya potensi membayarnya. Tidak. Rasulullah tidak pernah menyuruhnya berhutang.
Demikian pula kebiasaan Rasulullah sendiri. Dengarlah Anas bin Malik radhiyallaahu anhu menceritakan: "Tidaklah aku saksikan bagaimana Rasulullah menyelenggarakan walimah untuk istri beliau seperti yang aku saksikan saat beliau menikahi Zainab. Baliau menyembelih seekor kambing." Hadits riwayat Imam Bukhari ini menyiratkan betapa walimah dengan seekor kambing sudah termasuk istimewa. Betapa sederhananya dibandingkan relaitas kita hari ini.
Maka bagi Antum yang belum menikah, sesuaikanlah walimah dengan kemampuan finansial antum dan jangan berlebih-lebihan. Semoga tidak ada lagi pengantin yang menangis di malam pertama karena mikir walimah. Dan semoga bukan alasan walimah yang membuat sebagian kita belum juga menikah. [Muchlisin]