“Tempat kerja antum enak ya akh” “Kenapa?” “Di tempat antum kan akhwat semua. Lebih mudah ghadul bashar . Di tempat ane karyawatinya ja...
“Tempat kerja antum enak ya akh”
“Kenapa?”
“Di tempat antum kan akhwat semua. Lebih mudah ghadul bashar. Di tempat ane karyawatinya jarang yang berjilbab. Tak sedikit yang pakaiannya ketat.”
“Mereka tidak berjilbab, antum langsung risih kan? Di kantor ane yang banyak akhwat, menjaga hati tak kalah berat. Ane malah sempat jatuh cinta akh.”
***
Di manapun kita berada di bumi ini, tak pernah ada tempat yang benar-benar steril dari ujian. Kadang ujian itu berbentuk orang-orang yang mencemooh dan menghalangi amal kebajikan. Kadang ujian itu berupa rekan-rekan kerja yang mengajak mengkhianati amanah. Kadang ujian itu berupa tetangga yang memancing kompetisi pamer kekayaan. Kadang berupa lingkungan yang kurang kondusif bagi pendidikan dan perkembangan anak-anak kita.
Seperti dialog di atas. Ikhwan yang rekan-rekan kerjanya tidak menutup aurat adalah ujian baginya untuk lebih sungguh-sungguh menjaga pandangan dan kehormatan. Sekaligus ujian agar ia mengentaskan mereka dari pakaian kejahiliyahan menuju pakaian iman dan ketaqwaan. Tapi bukan berarti yang kesehariannya bekerja di lingkungan akhwat tak ada ujian yang berat. Hati yang tak terjaga justru lebih mudah jatuh cinta. Sebab kepada wanita yang tak berjilbab, hati ikhwan sejati pasti menolak. Bahkan membenci. Tak pernah terbersit menikahi wanita seperti ini. Tapi jika yang dekat dengannya adalah akhwat yang berjilbab rapi, lemah lembut dan berbudi, cinta bisa tumbuh di hati. Bahkan bagi ikhwan yang telah beristri. Wal iyadzubillah…
Setiap tempat ada ujiannya. Setiap lingkungan ada cobaannya. Rasulullah dan para shahabat dulu juga begitu. Di masa awal dakwah Islam di Makkah, ujiannya adalah lingkungan yang represif terhadap dakwah. Celaan, hinaan, hingga penyiksaan dan pemboikotan terjadi di sana. Ketika sebagian sahabat hijrah ke Habasyah, di sana pun tak lepas dari masalah. Semula mereka harus beradu argumen dengan utusan Quraisy, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah, sebelum mereka berdua masuk Islam. Di bawah pimpinan Ja’far bin Abu Thalib, mereka menang. Mereka bisa hidup aman, tetapi itu bukan berarti bebas ujian. Nyatanya ketika kaum muslimin mendapatkan perlindungan, kondisinya aman, bebas dari siksaan dan intimidasi yang selama di Makkah selalu menghiasi dakwah, Ubaidillah bin Jahsy justru murtad, keluar dari Islam.
Setelah hijrah ke Madinah, beda lagi ujiannya. Di sana ada ujian head-to-head dengan pasukan kafir Quraisy, pengkhianatan kaum Yahudi dan seterusnya. Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar menjadi khalifah, lalu Umar, banyak kemenangan gemilang umat Islam. Harta berlimpah bukan berarti bebas masalah. Terraihnya kemenangan bukan berarti steril dari ujian. Bahkan masa itu dan masa-masa berikutnya dipenuhi dengan ujian yang lebih berat: ujian harta, kekayaan dan kekuasaan.
Setiap tempat ada ujiannya. Setiap lingkungan ada cobaannya. Tapi justru karena itulah, muslim yang bermasyarakat lebih baik daripada muslim yang beruzlah, ketika ia dapat lulus dari ujian.
“Seorang mukmin yang bergaul dan sabar terhadap gangguan orang, lebih besar pahalanya dari yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Agar kita dapat lulus dari ujian, hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyadari dan mengidentifikasi ujian-ujian itu. Optimislah bahwa semakin besar ujian semakin besar pula pahala yang kita dapatkan. Optimislah pula bahwa semakin berat ujian semakin tinggi derajat yang akan Allah anugerahkan.
“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya Allah memberikan cobaan kepadanya.”(HR. Bukhari)
Kedua, menghadapi ujian itu dengan cara yang tepat. Yakni cara yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan hadits Nabi. Karena Allah telah menetapkan bahwa Dia takkan menguji hambaNya melebihi batas kemampuan mereka, maka pastilah seorang hamba diberi kesanggupan oleh Allah untuk menghadapi ujian itu. Pertanyaannya adalah, apakah cara menghadapinya benar atau salah, tepat atau malah menambah masalah. Sebenarnya Allah menguji kemauan kita untuk menyelesaikan masalah, bukan kemampuan kita menghadapi masalah. Karena ujian tak lebih berat dari kemampuan, sesungguhnya –sekali lagi- kita mampu menghadapi ujian itu.
Ketiga, jika ikhtiar sudah dilakukan dan sudah optimal, yang berikutnya adalah doa dan tawakal. Faidza azamta fatawakkal ‘alallah. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]
“Kenapa?”
“Di tempat antum kan akhwat semua. Lebih mudah ghadul bashar. Di tempat ane karyawatinya jarang yang berjilbab. Tak sedikit yang pakaiannya ketat.”
“Mereka tidak berjilbab, antum langsung risih kan? Di kantor ane yang banyak akhwat, menjaga hati tak kalah berat. Ane malah sempat jatuh cinta akh.”
***
Di manapun kita berada di bumi ini, tak pernah ada tempat yang benar-benar steril dari ujian. Kadang ujian itu berbentuk orang-orang yang mencemooh dan menghalangi amal kebajikan. Kadang ujian itu berupa rekan-rekan kerja yang mengajak mengkhianati amanah. Kadang ujian itu berupa tetangga yang memancing kompetisi pamer kekayaan. Kadang berupa lingkungan yang kurang kondusif bagi pendidikan dan perkembangan anak-anak kita.
Seperti dialog di atas. Ikhwan yang rekan-rekan kerjanya tidak menutup aurat adalah ujian baginya untuk lebih sungguh-sungguh menjaga pandangan dan kehormatan. Sekaligus ujian agar ia mengentaskan mereka dari pakaian kejahiliyahan menuju pakaian iman dan ketaqwaan. Tapi bukan berarti yang kesehariannya bekerja di lingkungan akhwat tak ada ujian yang berat. Hati yang tak terjaga justru lebih mudah jatuh cinta. Sebab kepada wanita yang tak berjilbab, hati ikhwan sejati pasti menolak. Bahkan membenci. Tak pernah terbersit menikahi wanita seperti ini. Tapi jika yang dekat dengannya adalah akhwat yang berjilbab rapi, lemah lembut dan berbudi, cinta bisa tumbuh di hati. Bahkan bagi ikhwan yang telah beristri. Wal iyadzubillah…
Setiap tempat ada ujiannya. Setiap lingkungan ada cobaannya. Rasulullah dan para shahabat dulu juga begitu. Di masa awal dakwah Islam di Makkah, ujiannya adalah lingkungan yang represif terhadap dakwah. Celaan, hinaan, hingga penyiksaan dan pemboikotan terjadi di sana. Ketika sebagian sahabat hijrah ke Habasyah, di sana pun tak lepas dari masalah. Semula mereka harus beradu argumen dengan utusan Quraisy, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah, sebelum mereka berdua masuk Islam. Di bawah pimpinan Ja’far bin Abu Thalib, mereka menang. Mereka bisa hidup aman, tetapi itu bukan berarti bebas ujian. Nyatanya ketika kaum muslimin mendapatkan perlindungan, kondisinya aman, bebas dari siksaan dan intimidasi yang selama di Makkah selalu menghiasi dakwah, Ubaidillah bin Jahsy justru murtad, keluar dari Islam.
Setelah hijrah ke Madinah, beda lagi ujiannya. Di sana ada ujian head-to-head dengan pasukan kafir Quraisy, pengkhianatan kaum Yahudi dan seterusnya. Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar menjadi khalifah, lalu Umar, banyak kemenangan gemilang umat Islam. Harta berlimpah bukan berarti bebas masalah. Terraihnya kemenangan bukan berarti steril dari ujian. Bahkan masa itu dan masa-masa berikutnya dipenuhi dengan ujian yang lebih berat: ujian harta, kekayaan dan kekuasaan.
Setiap tempat ada ujiannya. Setiap lingkungan ada cobaannya. Tapi justru karena itulah, muslim yang bermasyarakat lebih baik daripada muslim yang beruzlah, ketika ia dapat lulus dari ujian.
“Seorang mukmin yang bergaul dan sabar terhadap gangguan orang, lebih besar pahalanya dari yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dalam menghadapi gangguan mereka.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Agar kita dapat lulus dari ujian, hal pertama yang perlu dilakukan adalah menyadari dan mengidentifikasi ujian-ujian itu. Optimislah bahwa semakin besar ujian semakin besar pula pahala yang kita dapatkan. Optimislah pula bahwa semakin berat ujian semakin tinggi derajat yang akan Allah anugerahkan.
“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya Allah memberikan cobaan kepadanya.”(HR. Bukhari)
Kedua, menghadapi ujian itu dengan cara yang tepat. Yakni cara yang sesuai dengan tuntunan Al Qur’an dan hadits Nabi. Karena Allah telah menetapkan bahwa Dia takkan menguji hambaNya melebihi batas kemampuan mereka, maka pastilah seorang hamba diberi kesanggupan oleh Allah untuk menghadapi ujian itu. Pertanyaannya adalah, apakah cara menghadapinya benar atau salah, tepat atau malah menambah masalah. Sebenarnya Allah menguji kemauan kita untuk menyelesaikan masalah, bukan kemampuan kita menghadapi masalah. Karena ujian tak lebih berat dari kemampuan, sesungguhnya –sekali lagi- kita mampu menghadapi ujian itu.
Ketiga, jika ikhtiar sudah dilakukan dan sudah optimal, yang berikutnya adalah doa dan tawakal. Faidza azamta fatawakkal ‘alallah. Wallaahu a’lam bish shawab. [Muchlisin]