Maraknya perceraian yang dilakukan di negeri ini, utamanya oleh para artis, merupakan salah satu tanda mulai sirnanya kesetiaan kepada pa...
Maraknya perceraian yang dilakukan di negeri ini, utamanya oleh para artis, merupakan salah satu tanda mulai sirnanya kesetiaan kepada pasangannya. Memang, dalam berumah tangga, akan banyak ditemukan ketidaksesuaian pada diri pasangan kita. Namun, hal itu adalah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dengan gemilang. Dan, di sinilah terletak alasan mengapa menikah diganjari dengan pahala yang berlimpah.
Sejatinya, ketika diri mau sedikit menurunkan ego, apa yang dialami atau dilakukan oleh pasangan kita, adalah representasi dari diri kita yang sebenarnya. Jikapun misalnya kita adalah orang baik, kemudian pasangan kita adalah orang yang belum baik, maka yang harus dilakukan adalah saling melengkapi, saling memperbaiki diri, dan seterusnya. Bukan saling menyalahkan, apalagi menghakimi bahwa diri adalah yang paling benar.
Dalam tahap ini, jika semua kita bisa mengusahakan kesetiaan kepada pasangan kita, insya Allah perceraian tidak akan terjadi, minimal bisa dikurangi angkanya. Tentu, kesetiaan yang dimaksud bukanlah kesetiaan buta. Tetapi kesetiaan dalam ketaatan kepada Allah, Rasulullah dan aturan-aturanNya.
Dalam sebuah kisah diterangkan, ada seorang suami yang telah menuju medan peperangan. Perang, dalam hal ini adalah cara terbaik untuk mempertahankan diri. Dengan gagah, pria ini menuju medan laga. Demi kebebasan, pria-pria itu rela meninggalkan keluarganya.
Di tengah kecamuknya perang, ketika pasukan tambahan baru saja tiba, tersiarlah kabar bahwa istri dari pria tersebut tengah mengalami penyakit kulit. Wajah cantiknya, berangsur berubah menjadi jelek, dan menjijikkan. Kabar yang diterimanya ini adalah pukulan telak. Lantas, atas ijin komandan pasukan, pria ini memutuskan untuk pulang dan menemani istrinya, hingga sembuh.
Sebelum pulang, entah karena apa, pria ini mengalami kebutaan. Bagi istri, ini adalah duka di atas duka. Ketika dirinya terjangkiti penyakit dan kecantikannya hancur lebur, sang pangeran hatinya pulang membawa kebutaan. Namun, ia berupaya tegar sehingga keduanya bisa saling bersinergi dalam melanjutkan biduk rumah tangga.
Hingga akhirnya, terhitunglah masa lima belas tahun, keduanya bersama dalam suka dan duka. Bagi suami, bukanlah hal yang mudah, menghabiskan seratus delapan puluh bulan bersama wanita yang menderita penyakit kulit. Alih-alih menikmati kecantikan istrinya, ia justru dihinggapi rasa takut jika sewaktu-waktu tertular. Bagi istri, mendampingi suami yang buta juga bukan hal yang mudah. Karena ia harus selalu ada di sampingnya dalam memenuhi kebutuhan pasangannya itu.
Tapi kisah, selalu memiliki hikmah. Hingga kemudian, setelah lima belas tahun, sang istri sembuh dari penyakit kulit. Wajahnya kembali seperti semula, cantik mempesona. Kerabat dan sahabatpun saling mendatangi keluarga itu untuk mengucapkan selamat. Hingga akhirnya, satu diantara sahabat sang pria dalam peperangan itu melontarkan pertanyaan yang tak biasa, “Hai, Fulan. Aku heran. Mengapa kau mendadak buta ketika mendengar kabar bahwa istrimu sakit kulit yang mengakibatkan kecantikannya hilang?”
Seluruh hadirin saling memandang untuk kemudian memusatkan perhatian pada Fulan yang diberi pertanyaan. Secara mengejutkan, pria ini bertutur, “Ketauhilah wahai istri dan sahabatku sekalian. Bahwa selama ini, sejatinya, aku hanya berpura-pura buta.” Sontak saja, semua yang hadir kaget dan saling berbisik antara satu dengan yang lainnya. Dalam jenak, ia melanjutkan, “Ini kulakukan, agar istriku tak terluka hatinya. Ketika ia mengetahui bahwa aku mengalami kebutaan, maka dia tidak akan canggung berhadapan denganku. Karena, dalam pikirannya, aku tidak bisa melihat rusaknya wajah yang dahulu cantik. Jadi, sebenarnya aku melihat. Sandiwara ini kulakukan demi keberlangsungan rumah tangga yang telah kami bangun sebelumnya.”
Demikianlah, kisah cinta selalu membuat decak kagum pembacanya. Hanya orang-orang hebat yang bisa menganyam kesabaran sepanjang lima belas tahun. Hanya orang-orang pilihan yang mempu menutup dan menambal aib pasangannya selama itu. Dan untuk perjuangan tersebut, Allah akan berikan ganjaran yang besar. Bukankah Dia sudah berkali-kali menyebutkan bahwa Dia bersama orang yang sabar?
Maka, diantara hikmah yang pantas kita catat, bersabarlah terhadap kekurangan pasangan. Karena bisa jadi, dalam kekurangan itu, terdapat kebaikan yang sangat banyak. Semoga Allah jadikan untuk kita pasangan yang setia. Yang selaras dalam taqwa, sejalan dalam iman dan seirama dalam setiap kebaikan.
Karena, ketika diri sebaik Muhammad, maka Dia pasti akan menjadikan wanita seperti Khadijah sebagai pasangan kita. Jika kemudian suami kita seperti Fir’aun, maka yang harus dilakukan adalah menjadi ‘Asiyah yang sabar sehingga berganjar surga. Atau, jika istri kita selayak istri Nuh, maka upayakanlah agar diri menjadi Nuh, yang tak pernah berhenti dalam mendakwahi. Baik kepada istri, anak ataupun masyarakat secara umum. Mari, memilih setia. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Sejatinya, ketika diri mau sedikit menurunkan ego, apa yang dialami atau dilakukan oleh pasangan kita, adalah representasi dari diri kita yang sebenarnya. Jikapun misalnya kita adalah orang baik, kemudian pasangan kita adalah orang yang belum baik, maka yang harus dilakukan adalah saling melengkapi, saling memperbaiki diri, dan seterusnya. Bukan saling menyalahkan, apalagi menghakimi bahwa diri adalah yang paling benar.
Dalam tahap ini, jika semua kita bisa mengusahakan kesetiaan kepada pasangan kita, insya Allah perceraian tidak akan terjadi, minimal bisa dikurangi angkanya. Tentu, kesetiaan yang dimaksud bukanlah kesetiaan buta. Tetapi kesetiaan dalam ketaatan kepada Allah, Rasulullah dan aturan-aturanNya.
Dalam sebuah kisah diterangkan, ada seorang suami yang telah menuju medan peperangan. Perang, dalam hal ini adalah cara terbaik untuk mempertahankan diri. Dengan gagah, pria ini menuju medan laga. Demi kebebasan, pria-pria itu rela meninggalkan keluarganya.
Di tengah kecamuknya perang, ketika pasukan tambahan baru saja tiba, tersiarlah kabar bahwa istri dari pria tersebut tengah mengalami penyakit kulit. Wajah cantiknya, berangsur berubah menjadi jelek, dan menjijikkan. Kabar yang diterimanya ini adalah pukulan telak. Lantas, atas ijin komandan pasukan, pria ini memutuskan untuk pulang dan menemani istrinya, hingga sembuh.
Sebelum pulang, entah karena apa, pria ini mengalami kebutaan. Bagi istri, ini adalah duka di atas duka. Ketika dirinya terjangkiti penyakit dan kecantikannya hancur lebur, sang pangeran hatinya pulang membawa kebutaan. Namun, ia berupaya tegar sehingga keduanya bisa saling bersinergi dalam melanjutkan biduk rumah tangga.
Hingga akhirnya, terhitunglah masa lima belas tahun, keduanya bersama dalam suka dan duka. Bagi suami, bukanlah hal yang mudah, menghabiskan seratus delapan puluh bulan bersama wanita yang menderita penyakit kulit. Alih-alih menikmati kecantikan istrinya, ia justru dihinggapi rasa takut jika sewaktu-waktu tertular. Bagi istri, mendampingi suami yang buta juga bukan hal yang mudah. Karena ia harus selalu ada di sampingnya dalam memenuhi kebutuhan pasangannya itu.
Tapi kisah, selalu memiliki hikmah. Hingga kemudian, setelah lima belas tahun, sang istri sembuh dari penyakit kulit. Wajahnya kembali seperti semula, cantik mempesona. Kerabat dan sahabatpun saling mendatangi keluarga itu untuk mengucapkan selamat. Hingga akhirnya, satu diantara sahabat sang pria dalam peperangan itu melontarkan pertanyaan yang tak biasa, “Hai, Fulan. Aku heran. Mengapa kau mendadak buta ketika mendengar kabar bahwa istrimu sakit kulit yang mengakibatkan kecantikannya hilang?”
Seluruh hadirin saling memandang untuk kemudian memusatkan perhatian pada Fulan yang diberi pertanyaan. Secara mengejutkan, pria ini bertutur, “Ketauhilah wahai istri dan sahabatku sekalian. Bahwa selama ini, sejatinya, aku hanya berpura-pura buta.” Sontak saja, semua yang hadir kaget dan saling berbisik antara satu dengan yang lainnya. Dalam jenak, ia melanjutkan, “Ini kulakukan, agar istriku tak terluka hatinya. Ketika ia mengetahui bahwa aku mengalami kebutaan, maka dia tidak akan canggung berhadapan denganku. Karena, dalam pikirannya, aku tidak bisa melihat rusaknya wajah yang dahulu cantik. Jadi, sebenarnya aku melihat. Sandiwara ini kulakukan demi keberlangsungan rumah tangga yang telah kami bangun sebelumnya.”
Demikianlah, kisah cinta selalu membuat decak kagum pembacanya. Hanya orang-orang hebat yang bisa menganyam kesabaran sepanjang lima belas tahun. Hanya orang-orang pilihan yang mempu menutup dan menambal aib pasangannya selama itu. Dan untuk perjuangan tersebut, Allah akan berikan ganjaran yang besar. Bukankah Dia sudah berkali-kali menyebutkan bahwa Dia bersama orang yang sabar?
Maka, diantara hikmah yang pantas kita catat, bersabarlah terhadap kekurangan pasangan. Karena bisa jadi, dalam kekurangan itu, terdapat kebaikan yang sangat banyak. Semoga Allah jadikan untuk kita pasangan yang setia. Yang selaras dalam taqwa, sejalan dalam iman dan seirama dalam setiap kebaikan.
Karena, ketika diri sebaik Muhammad, maka Dia pasti akan menjadikan wanita seperti Khadijah sebagai pasangan kita. Jika kemudian suami kita seperti Fir’aun, maka yang harus dilakukan adalah menjadi ‘Asiyah yang sabar sehingga berganjar surga. Atau, jika istri kita selayak istri Nuh, maka upayakanlah agar diri menjadi Nuh, yang tak pernah berhenti dalam mendakwahi. Baik kepada istri, anak ataupun masyarakat secara umum. Mari, memilih setia. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com