Masa depan adalah sebuah misteri yang hanya diketahui secara pasti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Manusia tidak dapat memastikan apa yan...
Masa depan adalah sebuah misteri yang hanya diketahui secara pasti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Manusia tidak dapat memastikan apa yang akan terjadi di masa-masa mendatang, baik tahun depan, bulan depan, bahkan esuk hari. Karenanya, Allah memerintahkan umat Islam untuk mengatakan “Insya Allah” ketika berjanji atau merencanakan suatu perbuatan di masa yang akan datang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَتَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا . إِلآ أَن يَشَآءَ اللهُ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَن يَهْدِيَنِي رَبِّي لأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi’, kecuali (dengan menyebut), ‘Insya Allah’. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah, ‘Mudah-mudahan Tuhanku akan memberi petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini’.” (QS. Al-Kahfi: 23-24)
Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada Rasul-Nya tentang adab bila hendak mengerjakan sesuatu yang telah ditekadkannya di masa mendatang, hendaklah ia mengembalikan kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui hal yang gaib, Yang Mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, dan Yang Mengetahui apa yang tidak akan terjadi...”
Lebih lanjut Ibnu Katsir menyebutkan bahwa mengucapkan “Insya Allah” adalah tuntunan sunnah yang membuat seseorang memperoleh pahala karenanya.
Lalu kapankah “Insya Allah” digunakan dan kapan tidak perlu digunakan? “Insya Allah” digunakan untuk sesuatu yang akan datang atau belum selesai. Misalnya, “Insya Allah aku akan menikah bulan depan”. Sedangkan untuk hal yang telah dilakukan tidak perlu memakai kata “insya Allah.” Misalnya seseorang ditanya, apakah sudah menikah? Jika memang ia telah menikah tidak perlu menjawab, “insya Allah” tetapi cukup mengatakan “sudah.”
Pun saat ditanya apakah sudah shalat, cukuplah menjawab “sudah.” Hal ini berbeda dengan puasa yang sedang dilakukan. Para ulama menganjurkan untuk menjawab “insya Allah” jika pertanyaan itu diajukan siang hari dan ia belum menyelesaikan puasanya (belum berbuka). Mengapa? Sebab ia tidak tahu apakah nanti benar-benar bisa menyelesaikan puasanya hingga tiba waktu berbuka atau ada udzur yang tiba-tiba datang (misalnya mendadak sakit, dan sebagainya). Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَتَقُولَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا . إِلآ أَن يَشَآءَ اللهُ وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَن يَهْدِيَنِي رَبِّي لأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
Ketika menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk kepada Rasul-Nya tentang adab bila hendak mengerjakan sesuatu yang telah ditekadkannya di masa mendatang, hendaklah ia mengembalikan kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang Maha Mengetahui hal yang gaib, Yang Mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, dan Yang Mengetahui apa yang tidak akan terjadi...”
Lebih lanjut Ibnu Katsir menyebutkan bahwa mengucapkan “Insya Allah” adalah tuntunan sunnah yang membuat seseorang memperoleh pahala karenanya.
Lalu kapankah “Insya Allah” digunakan dan kapan tidak perlu digunakan? “Insya Allah” digunakan untuk sesuatu yang akan datang atau belum selesai. Misalnya, “Insya Allah aku akan menikah bulan depan”. Sedangkan untuk hal yang telah dilakukan tidak perlu memakai kata “insya Allah.” Misalnya seseorang ditanya, apakah sudah menikah? Jika memang ia telah menikah tidak perlu menjawab, “insya Allah” tetapi cukup mengatakan “sudah.”
Pun saat ditanya apakah sudah shalat, cukuplah menjawab “sudah.” Hal ini berbeda dengan puasa yang sedang dilakukan. Para ulama menganjurkan untuk menjawab “insya Allah” jika pertanyaan itu diajukan siang hari dan ia belum menyelesaikan puasanya (belum berbuka). Mengapa? Sebab ia tidak tahu apakah nanti benar-benar bisa menyelesaikan puasanya hingga tiba waktu berbuka atau ada udzur yang tiba-tiba datang (misalnya mendadak sakit, dan sebagainya). Wallahu a’lam bish shawab. [Abu Nida]