Benarkah ungkapan yang mengatakan ‘lebih baik poligami diam-diam daripada berzina’? Apa hukumnya poligami diam-diam tanpa sepengetahuan istri pertama, anak-anak, keluarga besar, dan masyarakat sekitar?
Berdosakah jika seorang laki-laki berpoligami diam-diam? Dosa apa? Sebesar apa?
ilustrasi poligami |
Benarkah ungkapan yang mengatakan ‘lebih baik poligami diam-diam daripada berzina’? Apa hukumnya poligami diam-diam tanpa sepengetahuan istri pertama, anak-anak, keluarga besar, dan masyarakat sekitar?
Berdosakah jika seorang laki-laki berpoligami diam-diam? Dosa apa? Sebesar apa?
***
Seorang laki-laki baru saja menggilir istri keduanya. Tanpa sepengetahuan istri pertama, dan anak-anaknya. Sudah beberapa tahun, laki-laki ini merahasiakan keberadaan istri kedua. Kisahnya panjang. Singkatnya, istri kedua ini dinikahi secara sah, syarat dan rukun nikah terpenuhi.
Si laki-laki sendiri mengaku mendatangi istri mudanya untuk keperluan yang mustahil diwakilkan dan ditunda. Sehingga, ia rutin berkunjung ke istri yang selisih usianya agak jauh dari istri pertamanya itu. Lebih mudah. Lebih cantik. Lebih kuat. Katanya demikian.
Sesampainya di rumah istri pertama, si laki-laki lekas menerima pertanyaan.
“Baru pulang, Pak?”
“Iya.”
“Bapak dari kantor atau dari mana?”
“Ada urusan kantor. Penting.”
“Oh… Sudah beres?”
“Sudah.”
Demikian dialog pertama si laki-laki dengan istri pertamanya, sesaat setelah si laki-laki sampai di rumah.
“Bapak mau makan, mandi, atau kasur?”
“Bapak mau tidur. Lelah banget.”
“Baik, Pak. Kamarnya sudah siap.”
Adakah yang peka dalam membaca dialog di atas? Dimana letak dosa suami yang berpoligami secara diam-diam?
“Ada urusan kantor. Penting.” jawab si laki-laki saat ditanya oleh istrinya, mengapa pulang terlambat.
Bukankah kalimat ini merupakan kalimat bersayap yang mengandung kebohongan? Bukankah si laki-laki baru saja menunaikan tugas di rumah istri kedua? Apakah tugasnya di istri kedua merupakan bagian dari ‘urusan kantor’ sebagaimana yang dipahami istri pertama?
Ketika kalimat tersebut merupakan kebohongan, ketauhilah bahwa Islam melarang keras berbohong. Islam bahkan menegaskan, berbohong sekali merupakan muasal dusta. Kebohongan pertama selalu mengundang kebohongan-kebohongan lain hingga seseorang layak disebut pendusta.
Jika seorang laki-laki berpoligami diam-diam, seberapa sering kebohongan-kebohongan-yang dianggap-kecil ini akan terulang? Bukankah jumlahnya tak terhitung ketika poligami diam-diam sudah berlangsung dalam waktu yang lama?
Belum lagi keterbukaan soal banyak hal yang layaknya diketahui oleh seorang istri dari suaminya. Belum lagi pembahasan soal kejujuran dalam menafkahi. Dan akan semakin banyak ketika didetailkan. Tak terhitung.
Karenanya, wahai para laki-laki, terbukalah! Sampaikan baik-baik soal poligami yang kaujalani. Meski sakit bagi istri pertama, engkau akan lebih mudah ketika menjalaninya dengan jujur dan terbuka.
Jika memang istrimu sudah tak beres dalam melayani, bicarakan baik-baik. Siapa tahu tak beres pelayanannya karena uang dan tanggungjawab yang kauberikan juga jauh dari cukup.
Memang, poligami diam-diam sah secara syariat, sebagaimana halnya nikah sirri.
Tapi, tidakkah hatimu tertekan ketika dituntut untuk menutupi kebaikan dan kenikmatan serta kebahagiaan yang seharusnya dikabarkan kepada banyak orang?
Bukankah secara syariat nikah memang harus disiarkan agar tak terjadi fitnah?
Dan membandingkan antara ‘poligami diam-diam’ dengan ‘zina’ dalam kalimat ‘lebih baik poligami diam-diam daripada zina’ adalah membandingkan dua perkara yang berbeda jauh, lebih jauh dari jarak antara barat dan timur. [Tarbawia/Mbah Pirman]